Sunday 19 October 2014

Polisi Berunjuk Rasa

Oleh Herie Purwanto
RATUSAN polisi di Polres Pamekasan, Jawa Timur, diberitakan berunjuk rasa pada Sabtu, 4 Oktober 2014. Mereka bahkan menyegel rumah dinas Wakil Kepala Polres (Wakapolres) Pamekasan Komisaris Hartono. Termasuk memasang garis polisi (police line) di pintu masuk rumah dinas, yang terletak tak jauh dari kantor polres. Selain menyegel rumah dinas Wakapolres, mereka menyegel rumah Kepala Bagian Sumda Komisaris Sugeng Santoso dan rumah dinas Kepala Bagian Operasional Komisaris Slamet Riady.
Menurut pengunjuk rasa, aksi itu digelar untuk memprotes sikap atasan yang mereka nilai arogan. Sikap arogan tersebut ditunjukkan dalam bentuk perbuatan dan kata-kata. Misalnya pada tiap apel pagi Wakapolres kerap marah-marah, bahkan mengeluarkan kata-kata yang tak pantas diucapkan. “Kami disebut anjing dan pelacur,” kata seorang polisi, yang diiyakan beberapa rekannya.
Bagaimana menyikapi hal itu? Salahkah polisi berunjuk rasa? Mengapa hal itu bisa terjadi? Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kejadian tersebut? Dalam konteks kelembagaan, meskipun setelah era reformasi Polri sudah menasbihkan diri sebagai civilian police, di lingkungan institusi itu masih erat terikat dalam budaya hierarki.
Budaya hierarki mengatur hubungan horizontal dan vertikal yang menyangkut hubungan antara atasan dan bawahan, hubungan sesama anggota, dan hubungan antara bawahan dan atasan. Pengaturan itu dibakukan dalam regulasi yang dikemas dalam peraturan disiplin bagi semua personel.
Penulis melihat beberapa substansi yang merupakan benang merah timbulnya kejadian tersebut. Pertama; andai benar unjuk rasa itu dipicu oleh sikap atasan (dalam hal ini pihak yang diunjuk rasa), yang kabarnya sering mengeluarkan kata-kata tak pantas maka harus menjadi instrospeksi bagi atasan itu bahwa hakikatnya bawahan pun mempunyai batas kesabaran ketika mendapat perlakuan yang menyentuh nilai-nilai dasarnya sebagai manusia.
Abraham Maslow dalam teori Hierarchy of Needs menyebutkan bahwa salah satu kebutuhan dasar manusia adalah aktualisasi diri. Ketika pengaktualisasian dirinya sebagai manusia itu dilecehkan oleh orang lain maka secara manusiawi pula seseorang akan melakukan sebuah perlawanan. Dengan kata lain, siapa pun orangnya, ketika dikatakan sebagai binatang atau pelacur misalnya, tentulah ia merasa harga dirinya direndahkan. Beban psikologi ini seharusnya dipahami oleh para atasan. Ia harus bijak dan bisa menjaga lisan (ucapan)-nya. Bukankah lidah itu lebih tajam dari sebuah pedang?
Proses Transparan
Kedua; unjuk rasa yang dilakukan oleh anggota Polres Pamekasan menjadi sebuah antiklimaks pemahaman berkait kebebasan mengeluarkan pendapat sebagaimana diatur hukum positif kita. Memang, tiap warga negara dijamin kebebasannya untuk mengeluarkan pendapat di muka umum. Namun dalam posisi sebagai anggota Polri, sejatinya menjadi bagian dari stakeholders dari filosofi kebebasan mengeluarkan pendapat.
Ini sama halnya dengan tiap warga negara dijamin hak asasinya oleh undangundang, namun sebagai stakeholders, polisi yang juga warga negara, tidak dilindungi oleh hak asasi manusia ketika ia sedang melaksanakan tugasnya. Misal seorang polisi yang sedang mengamankan unjuk rasa, kemudian ditimpuk batu oleh seorang demonstran hingga menyebabkan ia meninggal dunia, lalu keluarganya mengadu ke Komnas HAM, tentu akan ditolak.
Ketiga; langkah strategis petinggi Polda Jatim dalam menangani kasus tersebut melalui mekanisme hukum yang berlaku patut diapresiasi. Tentu dengan catatan proses hukum tersebut harus dilaksanakan secara transparan sehingga putusannya bisa diketahui oleh siapa pun dan bernilai akuntabel. Kedua belah pihak harus mendapat porsi hukum yang sama sehingga akan memunculkan detterent efect di kemudian hari.
Sebagai bagian dari institusi kepolisian, penulis berharap ke depan apabila ada hal-hal yang tidak sesuai, sebaiknya diselesaikan melalui mekanisme yang sudah melembaga. Secara perseorangan atau berkelompok karena mungkin kepentingannya sama, bisa menyampaikan kepada atasan langsung, andai atasan itu dianggap bermasalah. Bahkan penulis mendorong perlunya mengedepankan komunikasi. Tak ada persoalan yang tidak terselesaikan melalui komunikasi yang baik. Baru bila komunikasi itu mengalami jalan buntu, bisa menggunakan jalur hukum yang ada.
Akan menjadi preseden yang buruk apabila sebagai stakeholders dalam mengamankan aksi unjuk rasa, sebagai salah satu bentuk kebebasan mengeluarkan pendapat, polisi justru melibatkan diri dengan menggelar unjuk rasa. Lantas siapa yang akan mengamankannya? (10)
— Herie Purwanto SH MH, Kasat Binmas Polres Pekalongan Kota, mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang

Sumber : epaper SM hal 6 edisi Sabtu, 11 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment