Oleh Herie Purwanto
RATUSAN polisi di Polres
Pamekasan, Jawa Timur, diberitakan berunjuk rasa pada Sabtu, 4 Oktober 2014.
Mereka bahkan menyegel rumah dinas Wakil Kepala Polres (Wakapolres) Pamekasan Komisaris
Hartono. Termasuk memasang garis polisi (police line) di pintu masuk rumah
dinas, yang terletak tak jauh dari kantor polres. Selain menyegel rumah dinas
Wakapolres, mereka menyegel rumah Kepala Bagian Sumda Komisaris Sugeng Santoso
dan rumah dinas Kepala Bagian Operasional Komisaris Slamet Riady.
Menurut pengunjuk rasa, aksi itu digelar
untuk memprotes sikap atasan yang mereka nilai arogan. Sikap arogan tersebut
ditunjukkan dalam bentuk perbuatan dan kata-kata. Misalnya pada tiap apel pagi
Wakapolres kerap marah-marah, bahkan mengeluarkan kata-kata yang tak pantas
diucapkan. “Kami disebut anjing dan pelacur,” kata seorang polisi, yang diiyakan
beberapa rekannya.
Bagaimana menyikapi hal itu? Salahkah
polisi berunjuk rasa? Mengapa hal itu bisa terjadi? Pelajaran apa yang bisa dipetik
dari kejadian tersebut? Dalam konteks kelembagaan, meskipun setelah era
reformasi Polri sudah menasbihkan diri sebagai civilian police, di lingkungan
institusi itu masih erat terikat dalam budaya hierarki.
Budaya hierarki mengatur hubungan
horizontal dan vertikal yang menyangkut hubungan antara atasan dan bawahan, hubungan
sesama anggota, dan hubungan antara bawahan dan atasan. Pengaturan itu
dibakukan dalam regulasi yang dikemas dalam peraturan disiplin bagi semua personel.
Penulis melihat beberapa
substansi yang merupakan benang merah timbulnya kejadian tersebut. Pertama;
andai benar unjuk rasa itu dipicu oleh sikap atasan (dalam hal ini pihak yang
diunjuk rasa), yang kabarnya sering mengeluarkan kata-kata tak pantas maka
harus menjadi instrospeksi bagi atasan itu bahwa hakikatnya bawahan pun
mempunyai batas kesabaran ketika mendapat perlakuan yang menyentuh nilai-nilai
dasarnya sebagai manusia.
Abraham Maslow dalam teori Hierarchy
of Needs menyebutkan bahwa salah satu kebutuhan dasar manusia adalah
aktualisasi diri. Ketika pengaktualisasian dirinya sebagai manusia itu
dilecehkan oleh orang lain maka secara manusiawi pula seseorang akan melakukan
sebuah perlawanan. Dengan kata lain, siapa pun orangnya, ketika dikatakan sebagai
binatang atau pelacur misalnya, tentulah ia merasa harga dirinya direndahkan.
Beban psikologi ini seharusnya dipahami oleh para atasan. Ia harus bijak dan
bisa menjaga lisan (ucapan)-nya. Bukankah lidah itu lebih tajam dari sebuah
pedang?
Proses Transparan
Kedua; unjuk rasa yang dilakukan oleh
anggota Polres Pamekasan menjadi sebuah antiklimaks pemahaman berkait kebebasan
mengeluarkan pendapat sebagaimana diatur hukum positif kita. Memang, tiap warga
negara dijamin kebebasannya untuk mengeluarkan pendapat di muka umum. Namun dalam
posisi sebagai anggota Polri, sejatinya menjadi bagian dari stakeholders dari
filosofi kebebasan mengeluarkan pendapat.
Ini sama halnya dengan tiap warga
negara dijamin hak asasinya oleh undangundang, namun sebagai stakeholders, polisi
yang juga warga negara, tidak dilindungi oleh hak asasi manusia ketika ia sedang
melaksanakan tugasnya. Misal seorang polisi yang sedang mengamankan unjuk rasa,
kemudian ditimpuk batu oleh seorang demonstran hingga menyebabkan ia meninggal
dunia, lalu keluarganya mengadu ke Komnas HAM, tentu akan ditolak.
Ketiga; langkah strategis
petinggi Polda Jatim dalam menangani kasus tersebut melalui mekanisme hukum
yang berlaku patut diapresiasi. Tentu dengan catatan proses hukum tersebut
harus dilaksanakan secara transparan sehingga putusannya bisa diketahui oleh
siapa pun dan bernilai akuntabel. Kedua belah pihak harus mendapat porsi hukum yang
sama sehingga akan memunculkan detterent efect di kemudian hari.
Sebagai bagian dari institusi kepolisian,
penulis berharap ke depan apabila ada hal-hal yang tidak sesuai, sebaiknya
diselesaikan melalui mekanisme yang sudah melembaga. Secara perseorangan atau
berkelompok karena mungkin kepentingannya sama, bisa menyampaikan kepada atasan
langsung, andai atasan itu dianggap bermasalah. Bahkan penulis mendorong
perlunya mengedepankan komunikasi. Tak ada persoalan yang tidak terselesaikan
melalui komunikasi yang baik. Baru bila komunikasi itu mengalami jalan buntu, bisa
menggunakan jalur hukum yang ada.
Akan menjadi preseden yang buruk apabila
sebagai stakeholders dalam mengamankan aksi unjuk rasa, sebagai salah satu
bentuk kebebasan mengeluarkan pendapat, polisi justru melibatkan diri dengan
menggelar unjuk rasa. Lantas siapa yang akan mengamankannya? (10)
— Herie Purwanto SH MH, Kasat Binmas
Polres Pekalongan Kota, mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas
Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
Sumber : epaper SM hal 6 edisi
Sabtu, 11 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment