Oleh : HR Haryanto
Kepadatan di Kota Semarang, terutama di pusat kota, tidak lagi bisa dimungkiri.
Situs Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset Daerah (DPPAD) Provinsi Jateng
tahun 2013 menyebut ibu kota Jateng dengan luas wilayah 451,47 km2 dihuni
1.744.500 jiwa. Kepadatan penduduk 3.864 jiwa/km2. Instansi itu menyebut ada 467.223
unit kendaraan bermotor yang menjadi objek pajak.
Data kendaraan bermotor itu belum
termasuk kendaraan yang hanya transit, menetap beberapa waktu atau lama di
Semarang tapi masih tercatat sebagai objek pajak kendaraan kabupaten/kota lain.
Kita bisa melihatnya dari pelat nomor kendaraan itu. Data jumlah kendaraan bermotor
itu berkorelasi linier dengan kepadatan arus lalu lintas mengingat di hampir semua
ruas jalan di pusat kota kita bisa mengamati kemacetan itu.
Kepadatan arus lalu lintas sudah
tidak lagi seimbang dengan pertumbuhan panjang dan lebar jalan. Situs Dinas
Cipta Karya dan Tata Ruang Provinsi Jateng menyebut panjang jalan di wilayah
Semarang ’’hanya’’2.786,056 km. Persoalan yang timbul dari kepadatan arus lalu
lintas masih ditambah oleh rendahnya disiplin pengguna jalan. Persoalan lain,
pembangunan beberapa mal dan hotel di pusat kota kurang memperhitungkan
regulasi berkait penyediaan areal parkir. Terkait kesemrawutan kondisi lalu
lintas di kota, Dishubkominfo dan Satlantas Polrestabes Semarang pernah
mewacanakan pemberlakuan jalur satu arah di enam ruas jalan (SM, 11/11/13 dan
20/5/14).
Sekalipun menyangkut kepentingan
lebih luas, sebagaimana umumnya gagasan tentu mengundang pro dan kontra.
Sebenarnya, dalam uji coba, petugas instansi terkait bisa memberikan edukasi
berupa peringatan, dan beberapa waktu kemudian menerapkan sanksi berupa denda
uang dan sebagainya.
Soal gagasan yang mengambang, kita
bisa melihat dari rencana pembangunan underpass di Jatingaleh Semarang, guna
mengurai kemacetan yang selalu terjadi di kawasan itu. Namun rencana itu hingga
kini belum terwujud, di sisi lain kemacetan makin menjadi-jadi. Terlebih bila
tidak ada petugas yang mengatur arus lalu lintas.
Ada cara yang bisa diterapkan
sebagai alternatif andai pemberlakuan jalan satu arah dibakukan. Misal
kendaraan roda dua dibuatkan jalur khusus dengan marka atau pembatas. Sebagai
uji coba, Pemkot bersama Satlantas Polrestabes bisa menerapkannya di Jalan
Dokter Cipto mengingat jalan itu panjang dan sudah memiliki jalur lambat.
Pro dan Kontra
Selanjutnya, bisa dilanjutkan
untuk diterapkan di Jalan MT Haryono (Mataram), termasuk mengembalikan fungsi
jalur lambat di jalan itu hanya untuk becak, gerobak, dan kendaraan tidak
bermesin, seperti becak, sepeda, gerobak dan sebagainya. Pada zaman dulu, kebijakan
menjadikan jalan searah juga banyak ditentang, terutama oleh warga di kanan-kiri
jalan itu.
Mereka, terutama yang membuka usaha/toko,
berdalih andai dibuat searah maka akan mengurangi kemungkinan menjaring pembeli.
Realitasnya, kini jalan searah pun ramai, dan tak ada pemilik toko/usaha
mengeluh sepi pembeli. Untuk Jalan Pahlawan, Gajahmada, Pemuda, dan Jalan
Dokter Soetomo (Kalisari) bisa menyesuaikan dengan kondisi setempat.
Seiring dengan pembenahan tata
kelola lalu lintas, Kota Semarang baru-baru ini menerima penghargaan tingkat
nasional berkait manajemen kota yang efektif. Warga sepatutnya bangga dan
berharap penghargaan itu bisa memotivasi spirit mewujudkan rencana pemberlakuan
jalan satu arah. Upaya itu untuk mengatasi kemacetan dan kesemrawutan di
Jatingaleh, Jalan Dokter Wahidin, Jalan S Parman, dan sebagainya. Kata kuncinya
adalah perlu keberanian, ketegasan, dan kejujuran dalam tiap tindakan supaya
bisa membuat jera pelanggar lalu lintas. Ikhtiar itu lambat-laun bisa ikut
membentuk budaya tertib dan santun di jalan raya. Bila rencana itu terealisasi,
masyarakat akan merasa nyaman dan aman berkendara di jalan, dan gagasan baik
itu tidak mengambang hanya menjadi wacana. (10)
— HR Haryanto, warga Kota
Semarang
Sumber : epaper SM hal 7 edisi
Rabu, 1 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment