Thursday, 9 October 2014

Mewujudkan Jalan Searah

Oleh : HR Haryanto
Kepadatan di Kota Semarang,  terutama di pusat kota, tidak lagi bisa dimungkiri. Situs Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset Daerah (DPPAD) Provinsi Jateng tahun 2013 menyebut ibu kota Jateng dengan luas wilayah 451,47 km2 dihuni 1.744.500 jiwa. Kepadatan penduduk 3.864 jiwa/km2. Instansi itu menyebut ada 467.223 unit kendaraan bermotor yang menjadi objek pajak.
Data kendaraan bermotor itu belum termasuk kendaraan yang hanya transit, menetap beberapa waktu atau lama di Semarang tapi masih tercatat sebagai objek pajak kendaraan kabupaten/kota lain. Kita bisa melihatnya dari pelat nomor kendaraan itu. Data jumlah kendaraan bermotor itu berkorelasi linier dengan kepadatan arus lalu lintas mengingat di hampir semua ruas jalan di pusat kota kita bisa mengamati kemacetan itu.
Kepadatan arus lalu lintas sudah tidak lagi seimbang dengan pertumbuhan panjang dan lebar jalan. Situs Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Provinsi Jateng menyebut panjang jalan di wilayah Semarang ’’hanya’’2.786,056 km. Persoalan yang timbul dari kepadatan arus lalu lintas masih ditambah oleh rendahnya disiplin pengguna jalan. Persoalan lain, pembangunan beberapa mal dan hotel di pusat kota kurang memperhitungkan regulasi berkait penyediaan areal parkir. Terkait kesemrawutan kondisi lalu lintas di kota, Dishubkominfo dan Satlantas Polrestabes Semarang pernah mewacanakan pemberlakuan jalur satu arah di enam ruas jalan (SM, 11/11/13 dan 20/5/14).
Sekalipun menyangkut kepentingan lebih luas, sebagaimana umumnya gagasan tentu mengundang pro dan kontra. Sebenarnya, dalam uji coba, petugas instansi terkait bisa memberikan edukasi berupa peringatan, dan beberapa waktu kemudian menerapkan sanksi berupa denda uang dan sebagainya.
Soal gagasan yang mengambang, kita bisa melihat dari rencana pembangunan underpass di Jatingaleh Semarang, guna mengurai kemacetan yang selalu terjadi di kawasan itu. Namun rencana itu hingga kini belum terwujud, di sisi lain kemacetan makin menjadi-jadi. Terlebih bila tidak ada petugas yang mengatur arus lalu lintas.
Ada cara yang bisa diterapkan sebagai alternatif andai pemberlakuan jalan satu arah dibakukan. Misal kendaraan roda dua dibuatkan jalur khusus dengan marka atau pembatas. Sebagai uji coba, Pemkot bersama Satlantas Polrestabes bisa menerapkannya di Jalan Dokter Cipto mengingat jalan itu panjang dan sudah memiliki jalur lambat.
Pro dan Kontra
Selanjutnya, bisa dilanjutkan untuk diterapkan di Jalan MT Haryono (Mataram), termasuk mengembalikan fungsi jalur lambat di jalan itu hanya untuk becak, gerobak, dan kendaraan tidak bermesin, seperti becak, sepeda, gerobak dan sebagainya. Pada zaman dulu, kebijakan menjadikan jalan searah juga banyak ditentang, terutama oleh warga di kanan-kiri jalan itu.
Mereka, terutama yang membuka usaha/toko, berdalih andai dibuat searah maka akan mengurangi kemungkinan menjaring pembeli. Realitasnya, kini jalan searah pun ramai, dan tak ada pemilik toko/usaha mengeluh sepi pembeli. Untuk Jalan Pahlawan, Gajahmada, Pemuda, dan Jalan Dokter Soetomo (Kalisari) bisa menyesuaikan dengan kondisi setempat.
Seiring dengan pembenahan tata kelola lalu lintas, Kota Semarang baru-baru ini menerima penghargaan tingkat nasional berkait manajemen kota yang efektif. Warga sepatutnya bangga dan berharap penghargaan itu bisa memotivasi spirit mewujudkan rencana pemberlakuan jalan satu arah. Upaya itu untuk mengatasi kemacetan dan kesemrawutan di Jatingaleh, Jalan Dokter Wahidin, Jalan S Parman, dan sebagainya. Kata kuncinya adalah perlu keberanian, ketegasan, dan kejujuran dalam tiap tindakan supaya bisa membuat jera pelanggar lalu lintas. Ikhtiar itu lambat-laun bisa ikut membentuk budaya tertib dan santun di jalan raya. Bila rencana itu terealisasi, masyarakat akan merasa nyaman dan aman berkendara di jalan, dan gagasan baik itu tidak mengambang hanya menjadi wacana. (10)
— HR Haryanto, warga Kota Semarang

Sumber : epaper SM hal 7 edisi Rabu, 1 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment