Oleh : Munawir Aziz*
PETA kontestasi antardaerah sekarang
ini ditentukan oleh bagaimana identitas kultural diaktualisasikan ke ranah
publik. Pola branding atas kota lebih memberi ruang bagi nilai-nilai lokal
untuk diapresiasi publik, sebagai identitas khas ataupun komoditas. Inilah yang
terjadi dalam era virtual creativity ketika kreativitas diasumsikan sebagai
bagian dari kemajuan teknologi yang mendorong kelahiran produk-produk kreatif
manusia cerdas.
Pada titik inilah, kreativitas
sumber daya lokal menentukan indeks prestasi, penghargaan ataupun income bagi
tiap daerah. Selain itu, strategi branding atas sebuah nilai kultural tidak
hanya atas nama negara namun tersebar menjadi bagian dari peningkatan kualitas
kota. Kota-kota semacam Bandung, Jakarta, Medan, Surabaya, dan Solo bersaing
dengan kota-kota destinasi wisata internasional semisal Kuala Lumpur, Sidney,
Amsterdam, Paris, dan Praha. Inilah yang kemudian mendorong perbaikan kota,
dengan indikator perbaikan SDM, infrastruktur, dan peningkatan kesejahteraan.
Selain itu, pengembangan kota
menuntun perbaikan infrastruktur ruang publik, semisal trotoar, taman,
sanitasi, hingga area festival untuk warga. Untuk pengembangan taman; Jakarta,
Bandung, dan Surabaya melakukan akselerasi kerja dengan menyulap ruang kumuh
menjadi taman asri. Jokowi-Ahok, Ridwan Kamil, dan Tri Rismaharini menjadi
pelopor hadirnya taman-taman kota yang menjadi ruang teduh bagi warga.
Selain peningkatan kualitas
infrastruktur, aktualisasi nilai-nilai kultural menjadi bagian dari kampanye
menghadirkan kota yang lebih menghargai budaya. Penghargaan atas tradisi,
nilai-nilai budaya, dan eksotisme berbahasa inilah yang kemudian melahirkan
kebijakan untuk memberi ruang bagi bahasa, sastra, dan identitas kultur masuk
ke ranah politik publik.
Simak saja, Gubernur Jateng
Ganjar Pranowo mengampanyekan bahasa dan pakaian Jawa dalam ritme
birokratisnya. Pakaian adat dan Bahasa Jawa diapresiasi, kemudian dipraktikkan
sebagai kebanggaan sekaligus identitas kultural dan politik Jawa Tengah. Lalu
apa signifikansi, dampak, dan kontribusi kebijakan ini terhadap identitas
kultural warga provinsi ini?
Langkah itu dilakukan Ganjar
untuk memberi sekaligus melahirkan ’’tanda’’ bagi ritme pemerintahannya.
Kebijakannya ditopang Pergub Nomor 55/2014 tentang Perubahan atas Pergub Nomor 57/2013
tentang Juklak Perda Provinsi Nomor 9/ 2013 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara
Jawa.
Sebelumnya, apresiasi nilai-nilai
Jawa dipraktikkan dalam seremonial pemerintahan, lomba, ataupun festival budaya
di tiap daerah. Ganjar berujar, ”Sehari dalam sepekan harus ditentukan wajib
berbahasa Jawa. Saat rapat paripurna, boleh juga menggunakan Bahasa Jawa. Tidak
harus krama(Bahasa Jawa halus), ngoko juga boleh.’’
Kebijakannya mengenai kewajiban
memakai pakaian adat dan Bahasa Jawa, mendorong apresiasi kultural atas
nilai-nilai khas Jawa. Setidaktidaknya hal ini menjadi referensi untuk menggali
dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebudayaan Jawa dalam moral dan praktik
kehidupan Tak hanya sebagai simbol artifisial namun sebagai bagian dari
revolusi mental yang dikawal Jokowi di pemerintahan pusat.
Identitas Kultural
Langkah Ganjar bukan terbilang
baru, hal serupa juga dipraktikkan di DKI Jakarta dan Kota Bandung. Di DKI Jakarta
ketika mengomando pemerintahannya, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)
menginstruksikan pegawai memakai baju Betawi tiap Jumat. Di Bandung, Wali Kota
Ridwan Kamil mendorong pejabat, PNS, dan siswa memakai pakaian adat dan
berbahasa Sunda, sehari dalam sepekan. Ridwan juga mengapresiasi ornamen Sunda
dalam infrastruktur publik di kota itu.
Pemkab Banjarnegara mendorong jajaran
pegawainya memakai baju khas Jawa tiap Kamis. Pemakaian identitas Jawa ini juga
diimbangi dengan penggunaan bahasa Banyumasan, baik tiap rapat maupun
komunikasi di kantor. Tentu saja kebijakan untuk mengapresiasi nilai-nilai kultural
dalam ranah pemerintahan dan publik, perlu dipahami sebagai bagian identitas
politik, dengan segenap nilai lebih dan kekurangan masing-masing.
Kebijakan mengapresiasi
nilai-nilai kultural dengan kewajiban berbahasa dan berpakaian adat merupakan
beleid penting. Yang perlu diingat adalah mendorong ’’orang’’ dan meningkatkan
kualitas sumber daya kreatif supaya mampu menjadi fondasi kultural sebagai
nilai lebih, bukan sekadar komoditas artifisial. Artinya, pakaian adat dan bahasa bukan sebagai
artefak ataupun simbol artifisial melainkan dipahami sebagai pintu masuk supaya
warga kembali mempelajari dan mempraktikkan filosofi Jawa dan kebudayaan
setempat. Bukan pula sebatas sebagai perayaan atau komoditas melainkan sebagai
gerbang apresiasi identitas kultural. Inilah yang justru menjadi langkah
penting supaya tidak terjebak pada perayaan simbolik dan penghargaan artifisial.
(10)
*Munawir Aziz, Direktur the North
Coast Center Staimafa Pati, alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Sumber : epaper SM edisi Rabu, 1
Oktober 2014
No comments:
Post a Comment