Oleh Suyatno
PERUBAHAN parental choice of
education, yakni pilihan orang tua terhadap lembaga pendidikan bagi
putra-putrinya, menjadi trending topic akhir-akhir ini. Jika pada masa sebelumnya
orang tua khususnya dari kalangan menengah ke atas lebih suka menyekolahkan
putra-putri mereka ke lembaga pendidikan milik nonmuslim (Azyumardi Azra, 2003),
saat ini terjadi perkembangan terbalik.
Orang tua dari kalangan menengah
(muslim), lebih senang memasukkan putra-putri mereka ke lembaga pendidikan yang
memiliki basis keagamaan Islam yang kuat dibandingkan dengan sekolah-sekolah
umum yang tidak memiliki basis keagamaan.
Fenomena apa ini? Cassanova,
seorang sosiolog menyebutnya sebagai gejala deprivatisasi agama, yakni gejala
kembalinya agama ke ruang publik. Jika pada abad modern agama telah dipetieskan
dalam ruang privat dan berada di pojok rumah (anggapan Barat), mulai awal abad
ke-21 (sering disebut zaman postmodern), agama kembali menempati ruang-ruang
publik. Orang tidak lagi merasa malu menampakkan simbol-simbol agama misal
memakai jilbab, melaksanakan ritual keagamaan, dan lainnya di tempat
umum.Bahkan, untuk kalangan tertentu, menampakkan simbol-simbol keagamaan
dianggap sebagai kebanggaan tersendiri.
Deprivatisasi agama juga berimbas
pada preferensi orang tua terhadap tempat pendidikan bagi anak-anaknya. Orang
tua dari kalangan menengah tidak keberatan membayar lebih mahal biaya sekolah
demi mendapatkan pendidikan agama yang baik sebagai fondasi karakter anak.
Pendidikan Islam Integratif
Bagaimana seharusnya lembaga
pendidikan merespons? Fenomena itu tentu menjadi kabar gembira bagi
sekolah-sekolah yang memiliki basis keagamaan kuat, semisal Sekolah Islam
Terpadu dan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Namun, tentu sekolah juga perlu bekerja
keras untuk memperbaiki kualitas akademik maupun fasilitas fisik.
Tanpa perbaikan kualitas sekolah,
bisa saja fenomena itu menjadi bumerang bagi sekolah, mengingat cara berpikir
kalangan menengah ke atas tidak lagi berpikir ideologis, melainkan berpikir
secara rasional. Selain itu, sekolah perlu mengembangkan keilmuan yang
integratif antara pendidikan agama dengan pendidikan umum. Meskipun banyak
sekolah mengajarkan pendidikan agama dan pendidikan umum secara bersamaan,
penyelenggaraannya masih diwarnai pandangan dikotomis.
Anak belajar agama yang terpisah
dengan pendidikan umum. Begitu juga sebaliknya, anak belajar ilmu-ilmu umum,
namun tidak merasa bahwa itu adalah perintah agama. Model pendidikan yang
demikian akan melahirkan generasi yang mengalami kepribadian terbelah, split
personality. Generasi semacam ini tentu tidak akan banyak membawa perubahan
terhadap nasib bangsa ke depan.
Jika hasil akhirnya adalah
demikian, bukan mustahil orang tua akan merasa kecewa dan akhirnya akan kembali
skeptis terhadap sekolah yang berbasis agama, karena para lulusannya tetap
tidak mampu menyelesaikan persoalan hidup masyarakat modern. (37)
-- Dr Suyatno MPd I, dosen Prodi
PGSD UAD
Sumber : epaper SM hal 9 edisi
Sabtu, 11 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment