Saturday, 18 October 2014

Tren Baru Pendidikan Islam

Oleh Suyatno
PERUBAHAN parental choice of education, yakni pilihan orang tua terhadap lembaga pendidikan bagi putra-putrinya, menjadi trending topic akhir-akhir ini. Jika pada masa sebelumnya orang tua khususnya dari kalangan menengah ke atas lebih suka menyekolahkan putra-putri mereka ke lembaga pendidikan milik nonmuslim (Azyumardi Azra, 2003), saat ini terjadi perkembangan terbalik.
Orang tua dari kalangan menengah (muslim), lebih senang memasukkan putra-putri mereka ke lembaga pendidikan yang memiliki basis keagamaan Islam yang kuat dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum yang tidak memiliki basis keagamaan.
Fenomena apa ini? Cassanova, seorang sosiolog menyebutnya sebagai gejala deprivatisasi agama, yakni gejala kembalinya agama ke ruang publik. Jika pada abad modern agama telah dipetieskan dalam ruang privat dan berada di pojok rumah (anggapan Barat), mulai awal abad ke-21 (sering disebut zaman postmodern), agama kembali menempati ruang-ruang publik. Orang tidak lagi merasa malu menampakkan simbol-simbol agama misal memakai jilbab, melaksanakan ritual keagamaan, dan lainnya di tempat umum.Bahkan, untuk kalangan tertentu, menampakkan simbol-simbol keagamaan dianggap sebagai kebanggaan tersendiri.
Deprivatisasi agama juga berimbas pada preferensi orang tua terhadap tempat pendidikan bagi anak-anaknya. Orang tua dari kalangan menengah tidak keberatan membayar lebih mahal biaya sekolah demi mendapatkan pendidikan agama yang baik sebagai fondasi karakter anak.
Pendidikan Islam Integratif
Bagaimana seharusnya lembaga pendidikan merespons? Fenomena itu tentu menjadi kabar gembira bagi sekolah-sekolah yang memiliki basis keagamaan kuat, semisal Sekolah Islam Terpadu dan sekolah-sekolah Muhammadiyah. Namun, tentu sekolah juga perlu bekerja keras untuk memperbaiki kualitas akademik maupun fasilitas fisik.
Tanpa perbaikan kualitas sekolah, bisa saja fenomena itu menjadi bumerang bagi sekolah, mengingat cara berpikir kalangan menengah ke atas tidak lagi berpikir ideologis, melainkan berpikir secara rasional. Selain itu, sekolah perlu mengembangkan keilmuan yang integratif antara pendidikan agama dengan pendidikan umum. Meskipun banyak sekolah mengajarkan pendidikan agama dan pendidikan umum secara bersamaan, penyelenggaraannya masih diwarnai pandangan dikotomis.
Anak belajar agama yang terpisah dengan pendidikan umum. Begitu juga sebaliknya, anak belajar ilmu-ilmu umum, namun tidak merasa bahwa itu adalah perintah agama. Model pendidikan yang demikian akan melahirkan generasi yang mengalami kepribadian terbelah, split personality. Generasi semacam ini tentu tidak akan banyak membawa perubahan terhadap nasib bangsa ke depan.
Jika hasil akhirnya adalah demikian, bukan mustahil orang tua akan merasa kecewa dan akhirnya akan kembali skeptis terhadap sekolah yang berbasis agama, karena para lulusannya tetap tidak mampu menyelesaikan persoalan hidup masyarakat modern. (37)
-- Dr Suyatno MPd I, dosen Prodi PGSD UAD

Sumber : epaper SM hal 9 edisi Sabtu, 11 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment