Monday, 13 October 2014

Belajar dari Festival Lasem Belajar dari Festival Lasem

Oleh Munawir Aziz
Tanggal 7-12 Oktober 2014 berlangsung seremoni kebudayaan di pesisir Jawa bertajuk Festival Lasem. Festival yang digelar di salah satu kecamatan di Kabupaten Rembang itu menampilkan wayang orang, teater, pembacaan puisi, festival lampion, bedah buku, dan napak tilas sejarah dengan menyusuri sungai di kecamatan tersebut.
Festival tersebut dapat menjadi bagian dari spirit masyarakat Jawa di pesisiran untuk terus mengokohkan tradisi lewat interaksi antar etnis dan akulturasi kebudayaan yang kental. Lalu, apa yang dapat dipelajari dari festival tersebut? Mengapa Lasem menjadi bagian dari titik sentral kesenian dan sejarah yang penting?
Penulis ingin menyuguhkan pandangan tentang bagaimana kekayaan sejarah dikelola, direkonstruksi ulang, dan disebarkan kepada lintas generasi, sebagaimana dilakukan oleh komunitas-komunitas di Lasem.
Sebagai kota di pesisir Jawa, Lasem memiliki sejarah panjang terkait dengan dinamika kekuasaan dan ekonomi berabad lampau. Catatan sejarah menyebutkan Lasem sudah menjadi bagian penting pada masa kekuasaan Majapahit. Pada waktu itu ’’kota’’ itu merupakan pintu perdagangan untuk produk garam dan kayu jati. Bandar Lasem merupakan pintu gerbang penting untuk akses ekonomi dan perdagangan Kerajaan Majapahit.
Untuk mendukungnya, Lasem dikelola seorang bhre, yang bertugas mengontrol kekuatan politik dan ekonomi kerajaan induknya. Lasem juga dikenal sebagai kota bandar penting pada masa muhibah Zheng He pada abad XV. Ketika rombongan Zheng He berlayar ke kawasan Nusantara, Bi Nang Un mendarat di timur Lasem, kemudian mendirikan permukiman Tionghoa muslim.
Keturunan dari Bi Nang Un kemudian mewariskan seni batik Lasem, yang kental dengan nuansa Tionghoa. Sampai sekarang motif-motif dan teknologi pewarnaan batik dari kecamatan itu masih terasa terpengaruhi oleh tradisi Tionghoa.
Di Lasem juga terdapat petilasan Sunan Bonang, yang sampai sekarang masih ramai dikunjungi peziarah, terutama mereka yang ingin belajar tentang tradisi dan sejarah Walisongo. Kekayaan sejarah inilah yang membentuk Lasem sebagai ’’kota’’ penting dalam jalur politik dan perekonomian di kawasan pesisir Jawa.
Masa Perang Kuning tahun 1740-1743 juga tidak bisa lepas dari sejarah Lasem. Sewaktu Geger Pacinan, serdadu VOC mendapat perlawanan sengit dari Laskar Tionghoa (pimpinan Oei Ing Kiat dan Tan Kee Wie), Laskar Jawa (Panji Margono), dan Laskar Santri (Kiai Baidlawi). Inilah yang menjadi fondasi interaksi harmonis antaretnis di Lasem. Masa Perang Jawa (1825-1830) juga menjadi catatan penting bagi sejarah Lasem.
Kota Pusaka
Dari kekayaan sejarah, khazanah tradisi hingga koeksistensi antaretnis inilah yang menjadikan Lasem sebagai kota yang kaya. Bahkan ada keinginan dari beberapa komunitas dan tokoh masyarakat di daerah itu untuk mengusungnya sebagai Kota Pusaka Dunia. Dasarnya, Lasem memiliki fondasi sejarah, warisan budaya, dan arsitektur yang menarik untuk dirawat sebagai kota pusaka.
Ide mengajukan Lasem sebagai Kota Pusaka Dunia perlu didorong sebagai usaha merawat ingatan sejarah, menjaga tradisi, sekaligus menunjukkan kepada masyarakat tentang nilai-nilai kultural yang ada di kecamatan tersebut. Untuk itu, perlu ada komunikasi intensif lintas komunitas, tokoh masyarakat, dan organisasi sosial. Pada titik ini, harus ada konsep, kesatuan gagasan, dan ide yang perlu didukung bersama secara solid. Selain itu, pemerintah dan pengusaha harus mendorong ide demi kebaikan bersama.
Konsep komunikasi terpadu business, community, and government penting guna mendorong gagasan bersama.  Diskusi yang melibatkan akademisi, komunitas, pengusaha, dan pemerintah menjadi bagian dari strategi menciptakan branding Lasem sebagai Kota Pusaka Dunia. Gagasan itu penting untuk terus didiskusikan secara intensif, dan Festival Lasem dapat menjadi pintu gerbangnya. (10)
— Munawir Aziz, peneliti, penulis bukuLasem Kota Tiongkok Kecil (Ombak; 2014)

Sumber: epaper SM hal 7 edisi Kamis, 9 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment