Oleh Munawir Aziz
Tanggal 7-12 Oktober 2014
berlangsung seremoni kebudayaan di pesisir Jawa bertajuk Festival Lasem. Festival
yang digelar di salah satu kecamatan di Kabupaten Rembang itu menampilkan
wayang orang, teater, pembacaan puisi, festival lampion, bedah buku, dan napak
tilas sejarah dengan menyusuri sungai di kecamatan tersebut.
Festival tersebut dapat menjadi bagian
dari spirit masyarakat Jawa di pesisiran untuk terus mengokohkan tradisi lewat interaksi
antar etnis dan akulturasi kebudayaan yang kental. Lalu, apa yang dapat
dipelajari dari festival tersebut? Mengapa Lasem menjadi bagian dari titik
sentral kesenian dan sejarah yang penting?
Penulis ingin menyuguhkan
pandangan tentang bagaimana kekayaan sejarah dikelola, direkonstruksi ulang, dan
disebarkan kepada lintas generasi, sebagaimana dilakukan oleh
komunitas-komunitas di Lasem.
Sebagai kota di pesisir Jawa,
Lasem memiliki sejarah panjang terkait dengan dinamika kekuasaan dan ekonomi berabad
lampau. Catatan sejarah menyebutkan Lasem sudah menjadi bagian penting pada
masa kekuasaan Majapahit. Pada waktu itu ’’kota’’ itu merupakan pintu
perdagangan untuk produk garam dan kayu jati. Bandar Lasem merupakan pintu
gerbang penting untuk akses ekonomi dan perdagangan Kerajaan Majapahit.
Untuk mendukungnya, Lasem dikelola
seorang bhre, yang bertugas mengontrol kekuatan politik dan ekonomi kerajaan
induknya. Lasem juga dikenal sebagai kota bandar penting pada masa muhibah
Zheng He pada abad XV. Ketika rombongan Zheng He berlayar ke kawasan Nusantara,
Bi Nang Un mendarat di timur Lasem, kemudian mendirikan permukiman Tionghoa muslim.
Keturunan dari Bi Nang Un
kemudian mewariskan seni batik Lasem, yang kental dengan nuansa Tionghoa.
Sampai sekarang motif-motif dan teknologi pewarnaan batik dari kecamatan itu masih
terasa terpengaruhi oleh tradisi Tionghoa.
Di Lasem juga terdapat petilasan Sunan
Bonang, yang sampai sekarang masih ramai dikunjungi peziarah, terutama mereka
yang ingin belajar tentang tradisi dan sejarah Walisongo. Kekayaan sejarah
inilah yang membentuk Lasem sebagai ’’kota’’ penting dalam jalur politik dan
perekonomian di kawasan pesisir Jawa.
Masa Perang Kuning tahun
1740-1743 juga tidak bisa lepas dari sejarah Lasem. Sewaktu Geger Pacinan,
serdadu VOC mendapat perlawanan sengit dari Laskar Tionghoa (pimpinan Oei Ing Kiat
dan Tan Kee Wie), Laskar Jawa (Panji Margono), dan Laskar Santri (Kiai
Baidlawi). Inilah yang menjadi fondasi interaksi harmonis antaretnis di Lasem.
Masa Perang Jawa (1825-1830) juga menjadi catatan penting bagi sejarah Lasem.
Kota Pusaka
Dari kekayaan sejarah, khazanah tradisi
hingga koeksistensi antaretnis inilah yang menjadikan Lasem sebagai kota yang
kaya. Bahkan ada keinginan dari beberapa komunitas dan tokoh masyarakat di
daerah itu untuk mengusungnya sebagai Kota Pusaka Dunia. Dasarnya, Lasem
memiliki fondasi sejarah, warisan budaya, dan arsitektur yang menarik untuk dirawat
sebagai kota pusaka.
Ide mengajukan Lasem sebagai Kota
Pusaka Dunia perlu didorong sebagai usaha merawat ingatan sejarah, menjaga
tradisi, sekaligus menunjukkan kepada masyarakat tentang nilai-nilai kultural
yang ada di kecamatan tersebut. Untuk itu, perlu ada komunikasi intensif lintas
komunitas, tokoh masyarakat, dan organisasi sosial. Pada titik ini, harus ada
konsep, kesatuan gagasan, dan ide yang perlu didukung bersama secara solid.
Selain itu, pemerintah dan pengusaha harus mendorong ide demi kebaikan bersama.
Konsep komunikasi terpadu
business, community, and government penting guna mendorong gagasan bersama. Diskusi yang melibatkan akademisi, komunitas,
pengusaha, dan pemerintah menjadi bagian dari strategi menciptakan branding Lasem
sebagai Kota Pusaka Dunia. Gagasan itu penting untuk terus didiskusikan secara
intensif, dan Festival Lasem dapat menjadi pintu gerbangnya. (10)
— Munawir Aziz, peneliti, penulis
bukuLasem Kota Tiongkok Kecil (Ombak; 2014)
Sumber: epaper SM hal 7 edisi
Kamis, 9 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment