Nugroho SBM |
HARAPAN baru ekonomi Indonesia yang
lebih baik terus bertumbuh setelah Jokowi-JK dilantik sebagai presiden-wakil presiden,
pada Senin (20/10). Terlebih setelah sebelumnya Jokowi bertemu Prabowo Subianto,
yang juga hadir dalam pelantikan Jokowi. Sampul Time edisi Senin, 27 Oktober
2014 pun menampilkan foto Jokowi dengan teks New Hope (Harapan Baru). Meskipun
titik berat liputan majalah itu demokrasi politik, pasti ada ulasan aspek ekonomi
mengingat keterkaitan erat dua aspek itu.
Hari-hari menjelang pelantikan
dan berlanjut sesudahnya, pasar keuangan dan pasar modal menyambut positif
kepemimpinan baru itu. Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sebelumnya
melemah hingga ke di bawah 5.000, kembali menguat ke tingkat 5.000 ke atas.
Demikian pula rupiah yang melemah Rp 12.000 lebih per dolar AS, kembali menguat
menjadi kurang dari Rp 12.000.
Optimisme pasar disebabkan adanya
rekonsiliasi antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Jokowi sebelum dilantik berprakarsa menemui tokoh KMP antara lain pimpinan DPR dan
MPR, pimpinan Golkar dan PPP, dan terakhir Prabowo. Selain itu, rekam jejak kepemimpinan
Jokowi selama jadi wali kota Solo dan gubernur DKI Jakarta diharapkan diterapkan
setelah jadi presiden.
Sementara
Namun jangan lupa kemembaikan indikator
di pasar uang dan pasar modal bersifat sementara. Banyak masalah fundamental
ekonomi yang harus dibenahi supaya ekspektasi publik bisa menjadi kenyataan. Pertama;
sesuai janjinya saat pidato pelantikan Jokowi ingin kembali menghidupkan sektor
kelautan atau kemaritiman sebagai potensi ekonomi yang dilupakan. Kemudian,
meningkatkan transportasi laut dengan membangun tol laut, menggali potensi
perikanan yang selama ini banyak dicuri nelayan asing, dan mengeksplorasi potensi
wisata laut.
Kedua; membenahi iklim investasi,
khususnya investasi asing, yang lebih besar dibanding investasi domestik.
Selama ini, dana asing yang masuk ke Indonesia lebih banyak berupa investasi
tidak langsung (portofolio) dalam bentuk saham, obligasi, dan surat berharga
lain ketimbang investasi langsung (penanaman modal asing atau PMA).
Besarnya investasi portofolio
bukanlah hal positif karena dana itu bersifat jangka pendek dan sangat mobile.
Ada sedikit saja guncangan semisal kegaduhan politik atau gangguan keamanan
maka dana investasi portofolio menguap. Hal itu berbeda dari dana PMA yang
lebih permanen dan berjangka panjang. Hingga 13 Oktober 2014 dana asing yang
ditempatkan di Surat Utang Negara (SUN) Rp 444,4 triliun, sedangkan PMA Rp 228,5
triliun. Banyak kendala mengapa investasi langsung tidak tumbuh dengan baik.
Salah satu hal yang paling dikeluhkan adalah buruknya infrastruktur. Menurut Bank
Dunia dan IMF, dana untuk pembangunan infrastruktur di suatu negara idealnya 5%
dari PDB.
PDB Indonesia 2013 adalah Rp
9.084 triliun sehingga idealnya dana untuk infrastruktur Rp 454,2 triliun.
Kenyataannya, anggaran infrastruktur dalam APBN 2015 hanya Rp 169 triliun,
lebih kecil dibanding APBN 2014 sebesar Rp 206 triliun. Jika dihitung dari PDB
Indonesia maka dana itu hanya 1,86%. Kecilnya dana pembangunan untuk
infrastruktur di Indonesia disebabkan besarnya pengeluaran yang bersifat wajib dan
kesalahan alokasi untuk pengeluaran tidak produktif semisal gaji pegawai, dan
terlebih subsidi BBM. Agar dana untuk infrastruktur bisa lebih besar lagi,
Jokowi-JK harus berani mengurangi subsidi BBM dan merealokasi anggaran.
Ketiga; selama ini BI terjebak
kebijakan antisipatif dalam merespons langkah The Fed yang dianggapnya akan
mengurangi stimulusnya. Pengurangan stimulus itu dikhawatirkan membuat sejumlah
pemilik dana dalam dolar AS menarik dolarnya dari Indonesia sehingga nilai
tukar dolar AS terhadap rupiah menguat atau dengan kata lain rupiah melemah
terhadap dolar, dengan segala dampak negatifnya.
Risiko Investasi
Hal ini membuat BI mempertahankan
BI rate di tingkat tinggi, yaitu 7,5% yang mengakibatkan suku bunga kredit dan surat
utang negara pun menjadi sangat tinggi. Akibat berikutnya, pemilik dana lebih
suka menempatkan dananya pada SUN yang bebas risiko dan berimbalan tinggi
ketimbang berinvestasi langsung yang berisiko tinggi. Orang tidak tertarik
berinvestasi karena tingginya suku bunga pinjaman dan risiko investasi itu sendiri.
Padahal BI belum perlu melakukan
hal itu mengingat dalam waktu dekat Bank Sentral AS tidak bakal berani menarik stimulus
dan menaikkan suku bunga. Memang angka penganguran di AS —salah satu indikator
utama kemembaikan ekonomi— saat ini menurun. Namun penurunan itu masih
menunjukkan tingkat pengangguran tinggi, yang saat ini 5,9%. Untuk itu, Jokowi
perlu melobi BI supaya segera menurunkan BI rate.
Keempat; Jokowi harus mendekatkan
program-programnya supaya bisa mengatasi problem di lapangan. Ia perlu terus
melanjutkan gaya blusukansupaya bisa menghasilkan program konkret. Para menteri
harus mengikuti kebiasaannya itu supaya semua kebijakan kementerian menyentuh
persoalan nyata di masyarakat. (10)
— Dr Nugroho SBM MSi, dosen
Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro (Undip)
Sumber : epaper SM edisi RABU, 22
OKTOBER 2014
No comments:
Post a Comment