REFLEKSI Idul Adha menjadi
momentum sangat tepat bagi para guru, khususnya guru agama, untuk mencatatkan
keteladanan sosok Ibrahim dalam pendidikan di sekolah. Ibrahim bukan saja teladan
dalam totalitas pengorbanan, tetapi juga bapak toleransi. Dari ajaran yang
dibawa Ibrahim, toleransi menjadi kunci utama, karena ajaran agama setelahnya sangat
terkait dengan ajaran yang sudah diletakkannya.
Nilai toleransi dalam ajaran Ibrahim
tidak cukup hanya dipahami dan dihayati saja, melainkan harus dijalankan dengan
sepenuh pengorbanan. Tanpa mau berkorban, nilai toleransi tak bisa dijadikan
pegangan. Ajaran luhur Ibrahim ini sangat tepat pada saat maraknya radikalisme
yang sudah menggejala di sekolah. Kalau radikalisme yang kemudian berkembang
menjadi terorisme tidak diwaspadai secara serius, maka sekolah bisa menjadi
lahan subur terorisme yang sangat membahayakan bangsa di masa depan.
Mengamini UU No 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan definisi ini,
pendidikan tentu akan melahirkan generasi yang teguh pendiriannya dalam
memegang prinsip dan selalu setia memperjuangkan yang diyakini untuk kebaikan
dan kemaslahatan umat manusia.
Tiga Persoalan
Menjawab tantangan masih maraknya
kekerasan dan terorisme global, guru mesti menegakkan kembali nilai-nilai
toleransi dalam kurikulum pendidikan nasional. Nilai-nilai toleransi lahir dari
nilai luhur bangsa yang sudah tertanam dan menancap kuat dalam tradisi, budaya
dan ajaran agama di berbagai daerah di Nusantara.
Nilai-nilai dalam ajaran Ibrahim
berperan paling krusial dalam nilai toleransi. Sayang, pendidikan toleransi
khususnya dalam ajaran agama di sekolah, selama ini, kurang efektif. Dalam Education and Belief (1987) Brenda
Watson menjelaskan ada tiga persoalan yang menyebabkan nilai ajaran agama tidak
efektif di sekolah. Pertama, proses pendidikan yang diajarkan guru lebih
mengarah pada proses indoktrinasi
(indoctrination process), sehingga pembelajaran agama diposisikan sebagai
sesuatu yang bersifat absolut dan tak terbantahkan. Kedua, lebih menekankan
pada pembelajaran agama yang bersifat normatif informatif. Dan ketiga, kuatnya ideologi
atau komitmen agama yang dianut oleh sang guru, sehingga pola pengajarannya
searah, monoton dan miskin tafsir.
Tiga hal ini memang persoalan serius.
Tetapi jangan sampai nilai toleransi hanya terletak dalam nilai ajaran agama
saja, karena toleransi memiliki aspek sangat luas dalam pelaksanannya. Makanya,
hilangnya toleransi mengakibatkan berbagai sikap negatif pada siswa, seperti
scapegoating (menyalahkan kelompok tertentu atas kejadian traumatis), bullying
(superioritas digunakan untuk menghina bahkan mencabut hak orang lain), dan
stereotyping (menggambarkan karakteristik orang lain dengan sifat negatif).
Internalisasi
Pendidikan bukan hanya untuk
menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas, tetapi juga mampu menghargai
perbedaan dalam keberagaman. Sudah saatnya konsep dan nilai-nilai toleransi
diintegrasikan dan diinternalisasikan dalam kurikulum pendidikan untuk
mewujudkan perdamaian, karena dunia saat ini dihadapkan pada masalah terorisme,
perang dan kebencian.
KH Imam Jazuli (2011) melihat
internalisasi pendidikan toleransi sejatinya bisa diajarkan dengan baik.
Misalnya, siswa nonmuslim dapat ambil bagian dalam acara Idul Adha, turut serta
mempersiapkan daging kurban, yang nonnasrani dapat ambil peran dalam kegiatan
aksi Paskah/Natal, yang non-Buddha dapat berpartisipasi dalam persiapan Waisak,
dan sebagainya.
Penting juga kiranya mengajak
anak didik untuk studi banding ke tempat-tempat ibadah yang berlainan agama,
mengenalkan ajaran-ajaran dan laku ritual mereka. Secara lebih universal, guru tidak hanya
melihat dalam nilai ajaran agama saja, melainkan juga dalam nilai luhur budaya
bangsa.
Prinsipnya, guru mengetahui sasaran
yang ingin dicapai dalam pendidikan toleransi, yakni sebagaimana diungkapkan
Kawsar H Kouchok dalam Teaching Tolerance Through Moral and Value Education
(2004), peserta didik mampu mengendalikan emosi, menjadi individu yang
penyabar, menjalani kehidupan yang sadar
walaupun di bawah tekanan (under stress), mengatasi kesulitan yang mengadang,
mengakomodasi perbedaan sudut pandang, dan menjadi individu yang mudah memaafkan.
(24)
—Siti Muyassarotul Hafidzoh,guru
SMP Ali Maksum Krapyak Yogyakarta, sedang menempuh studi pada Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta.
Sumber : epaper SM hal 10 Rubrik
Suara Guru edisi Sabtu, 4 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment