Sunday, 12 October 2014

Guru dan Pendidikan Toleransi

REFLEKSI Idul Adha menjadi momentum sangat tepat bagi para guru, khususnya guru agama, untuk mencatatkan keteladanan sosok Ibrahim dalam pendidikan di sekolah. Ibrahim bukan saja teladan dalam totalitas pengorbanan, tetapi juga bapak toleransi. Dari ajaran yang dibawa Ibrahim, toleransi menjadi kunci utama, karena ajaran agama setelahnya sangat terkait dengan ajaran yang sudah diletakkannya.
Nilai toleransi dalam ajaran Ibrahim tidak cukup hanya dipahami dan dihayati saja, melainkan harus dijalankan dengan sepenuh pengorbanan. Tanpa mau berkorban, nilai toleransi tak bisa dijadikan pegangan. Ajaran luhur Ibrahim ini sangat tepat pada saat maraknya radikalisme yang sudah menggejala di sekolah. Kalau radikalisme yang kemudian berkembang menjadi terorisme tidak diwaspadai secara serius, maka sekolah bisa menjadi lahan subur terorisme yang sangat membahayakan bangsa di masa depan.
Mengamini UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Berdasarkan definisi ini, pendidikan tentu akan melahirkan generasi yang teguh pendiriannya dalam memegang prinsip dan selalu setia memperjuangkan yang diyakini untuk kebaikan dan kemaslahatan umat manusia.
Tiga Persoalan
Menjawab tantangan masih maraknya kekerasan dan terorisme global, guru mesti menegakkan kembali nilai-nilai toleransi dalam kurikulum pendidikan nasional. Nilai-nilai toleransi lahir dari nilai luhur bangsa yang sudah tertanam dan menancap kuat dalam tradisi, budaya dan ajaran agama di berbagai daerah di Nusantara.
Nilai-nilai dalam ajaran Ibrahim berperan paling krusial dalam nilai toleransi. Sayang, pendidikan toleransi khususnya dalam ajaran agama di sekolah, selama ini, kurang efektif.  Dalam Education and Belief (1987) Brenda Watson menjelaskan ada tiga persoalan yang menyebabkan nilai ajaran agama tidak efektif di sekolah. Pertama, proses pendidikan yang diajarkan guru lebih mengarah pada proses  indoktrinasi (indoctrination process), sehingga pembelajaran agama diposisikan sebagai sesuatu yang bersifat absolut dan tak terbantahkan. Kedua, lebih menekankan pada pembelajaran agama yang bersifat normatif informatif. Dan ketiga, kuatnya ideologi atau komitmen agama yang dianut oleh sang guru, sehingga pola pengajarannya searah, monoton dan miskin tafsir.
Tiga hal ini memang persoalan serius. Tetapi jangan sampai nilai toleransi hanya terletak dalam nilai ajaran agama saja, karena toleransi memiliki aspek sangat luas dalam pelaksanannya. Makanya, hilangnya toleransi mengakibatkan berbagai sikap negatif pada siswa, seperti scapegoating (menyalahkan kelompok tertentu atas kejadian traumatis), bullying (superioritas digunakan untuk menghina bahkan mencabut hak orang lain), dan stereotyping (menggambarkan karakteristik orang lain dengan sifat negatif).
Internalisasi
Pendidikan bukan hanya untuk menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas, tetapi juga mampu menghargai perbedaan dalam keberagaman. Sudah saatnya konsep dan nilai-nilai toleransi diintegrasikan dan diinternalisasikan dalam kurikulum pendidikan untuk mewujudkan perdamaian, karena dunia saat ini dihadapkan pada masalah terorisme, perang dan kebencian.
KH Imam Jazuli (2011) melihat internalisasi pendidikan toleransi sejatinya bisa diajarkan dengan baik. Misalnya, siswa nonmuslim dapat ambil bagian dalam acara Idul Adha, turut serta mempersiapkan daging kurban, yang nonnasrani dapat ambil peran dalam kegiatan aksi Paskah/Natal, yang non-Buddha dapat berpartisipasi dalam persiapan Waisak, dan sebagainya.
Penting juga kiranya mengajak anak didik untuk studi banding ke tempat-tempat ibadah yang berlainan agama, mengenalkan ajaran-ajaran dan laku ritual mereka.  Secara lebih universal, guru tidak hanya melihat dalam nilai ajaran agama saja, melainkan juga dalam nilai luhur budaya bangsa.
Prinsipnya, guru mengetahui sasaran yang ingin dicapai dalam pendidikan toleransi, yakni sebagaimana diungkapkan Kawsar H Kouchok dalam Teaching Tolerance Through Moral and Value Education (2004), peserta didik mampu mengendalikan emosi, menjadi individu yang penyabar,  menjalani kehidupan yang sadar walaupun di bawah tekanan (under stress), mengatasi kesulitan yang mengadang, mengakomodasi perbedaan sudut pandang, dan menjadi individu yang mudah memaafkan. (24)
—Siti Muyassarotul Hafidzoh,guru SMP Ali Maksum Krapyak Yogyakarta, sedang menempuh studi pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Sumber : epaper SM hal 10 Rubrik Suara Guru edisi Sabtu, 4 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment