Bambang Sadono |
DILEMA pelaksanaan pilkada
serentak 2015 secara yuridis terayun-ayun di antara UU Pilkada yang sudah
diputus DPR, yakni UU Nomor 22 Tahun 2014 dan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang
diajukan Presiden SBY. Secara yuridis, dua ketentuan itu bertolak belakang.
Yang jadi masalah adalah kemanfaatan pengaturan itu, yang disampaikan berbagai
kelompok masyarakat sebagai aspirasi kuat supaya pilkada tetap secara langsung.
Aspirasi mengembalikan pilkada
lewat DPRD pun bukan gagasan tiba-tiba. Dengan berbagai argumentasi antara lain
kemerebakan politik uang, pemerintah cenderung mengembalikan ke DPRD,
sebagaimana terlihat dari pengajuan RUU. Bahkan sampai saat-saat terakhir pun,
Mendagri Gamawan Fauzi pun menyiratkan ia cenderung melalui DPRD.
Hanya aspirasi kuat masyarakat
mempertahankan pilkada langsung membuat fraksi-fraksi DPR ragu, dan diikuti
pemerintah. Akhirnya ketika kekuatan politik di DPR yang ditunjukkan Koalisi
Merah Putih (Golkar, Gerindra, PKS, PAN, dan PPP) menyambut gagasan awalnya,
pemerintah mati langkah.
Gagasan pilkada lewat DPRD dimenangi
KMP walaupun ditentang Koalisi Indonesia Hebat (PDIP, PKB, dan Hanura). Dominasi itu menyisakan kegalauan pada Partai
Demokrat yang di parlemen lebih cenderung ke KMP, namun masih ada masalah
karena ketua umumnya, SBY, diserang setelah dianggap memberi jalan bagi kemenangan
pilkada lewat DPRD. Apa pun pilihannya secara yuridis tak bisa disangkal bahwa
UU itu sesuai dengan aspirasi rakyat.
Dibuat dengan proses yang demokratis
atau tidak, itu soal lain. Undang-undang
yang baik bisa diukur dengan teori Gustav Radbruch, yang menyebut hukum yang
baik harus memenuhi kebutuhan keadilan, kemanfaatan bagi rakyat, dan
menimbulkan kepastian hukum. Adapun menurut teori Philipe Nonet dan Philip
Selznick, hukum yang baik adalah yang merespons kehendak rakyat dan dihasilkan
dari proses demokratis. Banyak pihak menunggu nasib perppu. Mereka yang
berkepentingan adalah para kandidat dalam Pilkada 2015. Pilkada langsung atau
tidak (melalui DPRD) tentu butuh persiapan berbeda. Baik cara berkomunikasi
untuk meraih dukungan maupun perhitungan kebutuhan dana berikut cara memanfaatkannya.
Partai dan anggota DPRD, baik
provinsi maupun kabupaten/kota, sangat berkepentingan mengingat dua sistem
pilkada tersebut memerlukan strategi berbeda untuk bisa memenanginya. KPU juga
membutuhkan persiapan berbeda, baik dalam pengaturan maupun perencanaan
pembiayaannya. Nasib yang akan diterima perppu bukan karena substansinya
melainkan lebih banyak dari sudut dukungan politik di DPR. Dari segi materi,
perppu ini merupakan respons jalan tengah, yang pernah disampaikan Demokrat sebelum
walkout dalam voting pengambilan keputusan RUU Pilkada.
Skenario Terburuk
Posisi perppu paling strategis
adalah pernyataan mencabut dan menyatakan tak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mengatur pelaksanaan
pilkada secara tidak langsung, atau oleh DPRD (Pasal 205). Inilah posisi hukum
yang berimplikasi sangat luas. Sistem pilkada menjadi status quo sambil
menunggu respons DPR terhadap perppu ini.
Memang lebih kecil komplikasinya andai
perppu diterima DPR, dan ditetapkan sebagai UU. Tapi adakah perubahan kekuatan
politik di DPR yang memungkinkan penerimaan perppu itu? Kemungkinan itu terbuka
bila PPP bergeser ke KIH. Demokrat pasti berusaha supaya perppu diterima demi mengingat
itu usulan SBY sebagai presiden. Menjadi kegaduhan luar biasa bila DPR menolak
perppu itu mengingat persoalannya UU Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur pilkada
lewat DPRD tidak otomatis berlaku.
Banyak pakar Hukum Tata Negara
menganggap UU itu sudah dicabut oleh perppu. Andai perppu ditolak maka aturan
kembali ke aturan pilkada pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda, yang
mengatur pemilihan langsung untuk gubernur dan bupati/wali kota. Sementara, ada
pihak menganggap UU Nomor 22 Tahun 2014 tetap berlaku karena perppu yang
mencabut, dinyatakan tidak sah secara hukum. Sebenarnya jika perppu ini ditolak
maka kekuatan yang menolak perppu ini masih sangat potensial, seandainya harus
membentuk UU baru yang tetap mengatur pilkada lewat DPRD.
Yang jadi masalah adalah soal
waktucberkait dampak terkatung-katungnya penyelenggaraan Pilkada 2015. Apalagi
melihat dinamika politik masih ada adu kekuatan, antara lain terlihat dari
tertunda-tundanya pembentukan alat kelengkapan DPR. Padahal perppu baru bisa
dibahas oleh alat kelengkapan, yakni komisi yang membidangi pemerintahan.
Karena itu, kegaduhan politik sebelum
dan sesudah pembahasan perppu di DPR nantinya terus berlangsung. Pakar Hukum
Tata Negara bisa mencarikan jalan keluar guna mengatasi krisis ketatanegaraan ini.
Masyarakat pun harus terus menyampaikan aspirasi mengingat tekanan kuat dari mereka
akan menjadi pertimbangan pembuat undang-undang.
Dari semua kepentingan yang
berebut legalitas tersebut, ada baiknya kembali mengingat teori Prof Satjipto
Rahardjo bahwa undang-undang atau hukum yang baik adalah hukum yang
membahagiakan rakyat. Persoalannya, bagaimana masingmasing yang berkepentingan
itu menafsirkan arti kebahagiaan rakyat.
— Bambang Sadono, anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), dosen Program Magister Hukum Universitas Semarang (USM)
Sumber : epaper SM edisi KAMIS,
23 OKTOBER 2014
No comments:
Post a Comment