Friday 24 October 2014

Pro-Kontra Pilkada lewat DPRD

Bambang Sadono
DILEMA pelaksanaan pilkada serentak 2015 secara yuridis terayun-ayun di antara UU Pilkada yang sudah diputus DPR, yakni UU Nomor 22 Tahun 2014 dan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang diajukan Presiden SBY. Secara yuridis, dua ketentuan itu bertolak belakang. Yang jadi masalah adalah kemanfaatan pengaturan itu, yang disampaikan berbagai kelompok masyarakat sebagai aspirasi kuat supaya pilkada tetap secara langsung.
Aspirasi mengembalikan pilkada lewat DPRD pun bukan gagasan tiba-tiba. Dengan berbagai argumentasi antara lain kemerebakan politik uang, pemerintah cenderung mengembalikan ke DPRD, sebagaimana terlihat dari pengajuan RUU. Bahkan sampai saat-saat terakhir pun, Mendagri Gamawan Fauzi pun menyiratkan ia cenderung melalui DPRD.
Hanya aspirasi kuat masyarakat mempertahankan pilkada langsung membuat fraksi-fraksi DPR ragu, dan diikuti pemerintah. Akhirnya ketika kekuatan politik di DPR yang ditunjukkan Koalisi Merah Putih (Golkar, Gerindra, PKS, PAN, dan PPP) menyambut gagasan awalnya, pemerintah mati langkah.
Gagasan pilkada lewat DPRD dimenangi KMP walaupun ditentang Koalisi Indonesia Hebat (PDIP, PKB, dan Hanura).  Dominasi itu menyisakan kegalauan pada Partai Demokrat yang di parlemen lebih cenderung ke KMP, namun masih ada masalah karena ketua umumnya, SBY, diserang setelah dianggap memberi jalan bagi kemenangan pilkada lewat DPRD. Apa pun pilihannya secara yuridis tak bisa disangkal bahwa UU itu sesuai dengan aspirasi rakyat.
Dibuat dengan proses yang demokratis atau tidak, itu soal lain.  Undang-undang yang baik bisa diukur dengan teori Gustav Radbruch, yang menyebut hukum yang baik harus memenuhi kebutuhan keadilan, kemanfaatan bagi rakyat, dan menimbulkan kepastian hukum. Adapun menurut teori Philipe Nonet dan Philip Selznick, hukum yang baik adalah yang merespons kehendak rakyat dan dihasilkan dari proses demokratis. Banyak pihak menunggu nasib perppu. Mereka yang berkepentingan adalah para kandidat dalam Pilkada 2015. Pilkada langsung atau tidak (melalui DPRD) tentu butuh persiapan berbeda. Baik cara berkomunikasi untuk meraih dukungan maupun perhitungan kebutuhan dana berikut cara memanfaatkannya.
Partai dan anggota DPRD, baik provinsi maupun kabupaten/kota, sangat berkepentingan mengingat dua sistem pilkada tersebut memerlukan strategi berbeda untuk bisa memenanginya. KPU juga membutuhkan persiapan berbeda, baik dalam pengaturan maupun perencanaan pembiayaannya. Nasib yang akan diterima perppu bukan karena substansinya melainkan lebih banyak dari sudut dukungan politik di DPR. Dari segi materi, perppu ini merupakan respons jalan tengah, yang pernah disampaikan Demokrat sebelum walkout dalam voting pengambilan keputusan RUU Pilkada.
Skenario Terburuk
Posisi perppu paling strategis adalah pernyataan mencabut dan menyatakan tak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mengatur pelaksanaan pilkada secara tidak langsung, atau oleh DPRD (Pasal 205). Inilah posisi hukum yang berimplikasi sangat luas. Sistem pilkada menjadi status quo sambil menunggu respons DPR terhadap perppu ini.
Memang lebih kecil komplikasinya andai perppu diterima DPR, dan ditetapkan sebagai UU. Tapi adakah perubahan kekuatan politik di DPR yang memungkinkan penerimaan perppu itu? Kemungkinan itu terbuka bila PPP bergeser ke KIH. Demokrat pasti berusaha supaya perppu diterima demi mengingat itu usulan SBY sebagai presiden. Menjadi kegaduhan luar biasa bila DPR menolak perppu itu mengingat persoalannya UU Nomor 22 Tahun 2014 yang mengatur pilkada lewat DPRD tidak otomatis berlaku.
Banyak pakar Hukum Tata Negara menganggap UU itu sudah dicabut oleh perppu. Andai perppu ditolak maka aturan kembali ke aturan pilkada pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda, yang mengatur pemilihan langsung untuk gubernur dan bupati/wali kota. Sementara, ada pihak menganggap UU Nomor 22 Tahun 2014 tetap berlaku karena perppu yang mencabut, dinyatakan tidak sah secara hukum. Sebenarnya jika perppu ini ditolak maka kekuatan yang menolak perppu ini masih sangat potensial, seandainya harus membentuk UU baru yang tetap mengatur pilkada lewat DPRD.
Yang jadi masalah adalah soal waktucberkait dampak terkatung-katungnya penyelenggaraan Pilkada 2015. Apalagi melihat dinamika politik masih ada adu kekuatan, antara lain terlihat dari tertunda-tundanya pembentukan alat kelengkapan DPR. Padahal perppu baru bisa dibahas oleh alat kelengkapan, yakni komisi yang membidangi pemerintahan.
Karena itu, kegaduhan politik sebelum dan sesudah pembahasan perppu di DPR nantinya terus berlangsung. Pakar Hukum Tata Negara bisa mencarikan jalan keluar guna mengatasi krisis ketatanegaraan ini. Masyarakat pun harus terus menyampaikan aspirasi mengingat tekanan kuat dari mereka akan menjadi pertimbangan pembuat undang-undang.
Dari semua kepentingan yang berebut legalitas tersebut, ada baiknya kembali mengingat teori Prof Satjipto Rahardjo bahwa undang-undang atau hukum yang baik adalah hukum yang membahagiakan rakyat. Persoalannya, bagaimana masingmasing yang berkepentingan itu menafsirkan arti kebahagiaan rakyat.
— Bambang Sadono, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dosen Program Magister Hukum Universitas Semarang (USM)

Sumber : epaper SM edisi KAMIS, 23 OKTOBER 2014

No comments:

Post a Comment