Sunday, 19 October 2014

Peran Perjuangan Dr Kariadi

Oleh Wasino
Pertempuran Lima Hari di Semarang merupakan titik kulminasi konflik terpendam antara pemuda pejuang kemerdekaan di Semarang dan tentara Jepang. Sebelum pertempuran itu meletus, elemen-elemen masyarakat yang tak senang  terhadap Jepang sudah terpetakan.
Namun sewaktu Jepang berkuasa, mereka menjadi silent majority yang dapat meledak ketika ada situasi yang memungkinkan. Dengan kata lain, telah terjadi kematangan struktural (structural conduciveness) yang memungkinkan terjadinya perilaku kelompok (Smelser;1962).
Waktu itu ada dua elemen pemuda yang berjuang di Semarang, yakni pemuda profesional dan pemuda ”jago”. Pemuda profesional adalah mereka yang bekerja di lapangan profesi karena pendidikan yang baik pada masa kolonial Belanda. Mereka adalah dokter, insinyur, guru, ahli hukum dan sebagainya. Para pemuda ini merupakan kelompok tercerahkan secara intelektual lewat pendidikan kolonial Belanda melalui politik etis yang digelindingkan sejak awal abad XX. Salah satu tokoh profesional yang tercerahkan tersebut adalah dr Kariadi.
Selain mereka, ada kelompok pemuda, yang dengan meminjam konsep Anderson (1988:23) saya namai pemuda ”jago” atau ”jagoan”. Mereka sudah memiliki akar jauh sebelum pendudukan Jepang. Dalam budaya Jawa, pemuda merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Proses menuju dewasa membuat mereka jadi petualang dengan mencari guru ngelmu untuk melatih kemampuan berkelahi.  Semasa pendudukan Jepang, tradisi ”jago” dilembagakan lewat latihan kemiliteran. Banyak pemuda direkrut dalam Heiho, Seinendan, Keibodan, dan terpenting Pembela Tanah Air atau Peta (Kahin,1995:129-184). Mereka inilah yang menjadi elemen pemberani dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang menentang ”majikan lamanya” bala tentara Jepang.
Pertempuran Lima Hari yang merupakan simbol heroisme masyarakat Semarang bermula dari terbunuhnya dr Kariadi. Peristiwa ini diawali desasdesus bahwa reservoir atau tandon air di Siranda Candi Baru telah diracun (Kodam VII/ Diponegoro, 1982:57; Amen Budiman,1976:15).  Kabar itu terdengar sejak Jumat, 12 Oktober 1945. Salah satu pencerita, Supaat, anggota Angkatan Muda KA yang bermarkas di Lawang Sewu menuturkan bahwa pada hari itu sekitar pukul 12.00 ia melihat pick up melewati jalan di depan Lawang Sewu. Di bak belakang, ada beberapa pemuda, antara lain yang dikenalnya Ngarpani dan Suwito.
Saling Tuduh
Selain itu, ada beberapa pemuda Bojong, antara lain Martai yang ternyata staf pimpinan. Lewat megafon, Ngarpani meminta warga Semarang berhatihati menggunakan air leding karena Jepang meracun reservoir Siranda. Berita itu menyebar, terlebih ia mengumumkan di sejumlah tempat, termasuk di Poncol (Moein Mochtar, 1988). Akibatnya, terjadi saling tuduh antara pemuda dan tentara Jepang.
Mendengar rumor peracunan tandon air, dr Kariadi sebagai Kepala Lab Rumah Sakit Purusara (kini RSUP Dokter Kariadi) terpanggil. Sabtu ,13 Oktober 1945 sore, ia menuju Siranda, diantar sopir pribadi naik mobil bertanda palang merah melewati Jalan Pandanaran. Sampai di jalan itu ia dan sopir pribadinya ditembak tentara Jepang.  Dokter Kariadi kemudian dibawa Rachmad, pemuda yang biasa menjaga tandon air Siranda ke kamar bedah RS Purusara. Namun karena lukanya parah, ia gugur (dokumentasi Jarahdam VII/-Diponegoro). Kejadian itu memicu kontak senjata yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Lima hari di Semarang.
Pertempuran berlangsung 13 Oktober malam-17 Oktober 1945. Dalam ingatan masyarakat Semarang dan sekitarnya, dr Kariadi adalah pahlawan bangsa. Sejak 2007 namanya diusulkan menjadi pahlawan nasional tetapi pemerintah menolaknya dengan alasan perjuangannya tidak terus-menerus.
Tapi penolakan itu tak membuat lupa masyarakat. Dalam memori kolektif mereka, dr Kariadi adalah pahlawan dan guna mengenang kepahlawanannya diadakan peringatan Pertempuran Lima Hari di Semarang. (10)
— Prof Dr Wasino MHum,dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (Unnes)

Sumber : epaper SM hal 7 edisi Sabtu, 11 Oktober 2014

No comments:

Post a Comment