Oleh Wasino
Pertempuran Lima Hari di Semarang
merupakan titik kulminasi konflik terpendam antara pemuda pejuang kemerdekaan
di Semarang dan tentara Jepang. Sebelum pertempuran itu meletus, elemen-elemen
masyarakat yang tak senang terhadap
Jepang sudah terpetakan.
Namun sewaktu Jepang berkuasa,
mereka menjadi silent majority yang dapat meledak ketika ada situasi yang
memungkinkan. Dengan kata lain, telah terjadi kematangan struktural (structural
conduciveness) yang memungkinkan terjadinya perilaku kelompok (Smelser;1962).
Waktu itu ada dua elemen pemuda yang
berjuang di Semarang, yakni pemuda profesional dan pemuda ”jago”. Pemuda
profesional adalah mereka yang bekerja di lapangan profesi karena pendidikan
yang baik pada masa kolonial Belanda. Mereka adalah dokter, insinyur, guru,
ahli hukum dan sebagainya. Para pemuda ini merupakan kelompok tercerahkan
secara intelektual lewat pendidikan kolonial Belanda melalui politik etis yang
digelindingkan sejak awal abad XX. Salah satu tokoh profesional yang
tercerahkan tersebut adalah dr Kariadi.
Selain mereka, ada kelompok
pemuda, yang dengan meminjam konsep Anderson (1988:23) saya namai pemuda ”jago”
atau ”jagoan”. Mereka sudah memiliki akar jauh sebelum pendudukan Jepang. Dalam
budaya Jawa, pemuda merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa. Proses
menuju dewasa membuat mereka jadi petualang dengan mencari guru ngelmu untuk melatih
kemampuan berkelahi. Semasa pendudukan
Jepang, tradisi ”jago” dilembagakan lewat latihan kemiliteran. Banyak pemuda
direkrut dalam Heiho, Seinendan, Keibodan, dan terpenting Pembela Tanah Air
atau Peta (Kahin,1995:129-184). Mereka inilah yang menjadi elemen pemberani
dalam Pertempuran Lima Hari di Semarang menentang ”majikan lamanya” bala
tentara Jepang.
Pertempuran Lima Hari yang
merupakan simbol heroisme masyarakat Semarang bermula dari terbunuhnya dr Kariadi.
Peristiwa ini diawali desasdesus bahwa reservoir atau tandon air di Siranda
Candi Baru telah diracun (Kodam VII/ Diponegoro, 1982:57; Amen
Budiman,1976:15). Kabar itu terdengar
sejak Jumat, 12 Oktober 1945. Salah satu pencerita, Supaat, anggota Angkatan
Muda KA yang bermarkas di Lawang Sewu menuturkan bahwa pada hari itu sekitar
pukul 12.00 ia melihat pick up melewati jalan di depan Lawang Sewu. Di bak
belakang, ada beberapa pemuda, antara lain yang dikenalnya Ngarpani dan Suwito.
Saling Tuduh
Selain itu, ada beberapa pemuda Bojong,
antara lain Martai yang ternyata staf pimpinan. Lewat megafon, Ngarpani meminta
warga Semarang berhatihati menggunakan air leding karena Jepang meracun
reservoir Siranda. Berita itu menyebar, terlebih ia mengumumkan di sejumlah
tempat, termasuk di Poncol (Moein Mochtar, 1988). Akibatnya, terjadi saling
tuduh antara pemuda dan tentara Jepang.
Mendengar rumor peracunan tandon
air, dr Kariadi sebagai Kepala Lab Rumah Sakit Purusara (kini RSUP Dokter
Kariadi) terpanggil. Sabtu ,13 Oktober 1945 sore, ia menuju Siranda, diantar
sopir pribadi naik mobil bertanda palang merah melewati Jalan Pandanaran.
Sampai di jalan itu ia dan sopir pribadinya ditembak tentara Jepang. Dokter Kariadi kemudian dibawa Rachmad, pemuda
yang biasa menjaga tandon air Siranda ke kamar bedah RS Purusara. Namun karena
lukanya parah, ia gugur (dokumentasi Jarahdam VII/-Diponegoro). Kejadian itu
memicu kontak senjata yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Lima hari di Semarang.
Pertempuran berlangsung 13
Oktober malam-17 Oktober 1945. Dalam ingatan masyarakat Semarang dan
sekitarnya, dr Kariadi adalah pahlawan bangsa. Sejak 2007 namanya diusulkan menjadi
pahlawan nasional tetapi pemerintah menolaknya dengan alasan perjuangannya
tidak terus-menerus.
Tapi penolakan itu tak membuat lupa
masyarakat. Dalam memori kolektif mereka, dr Kariadi adalah pahlawan dan guna
mengenang kepahlawanannya diadakan peringatan Pertempuran Lima Hari di
Semarang. (10)
— Prof Dr Wasino MHum,dosen Jurusan
Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang (Unnes)
Sumber : epaper SM hal 7 edisi
Sabtu, 11 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment