Ridho Imawan Hanafi |
IDEALNYA, penanda tiap hal baru, apalagi
hal yang sebelumnya membekaskan keprihatinan, sikap optimistis disertai
sejumlah harapan lebih sering dikedepankan. Namun hal itu tampaknya tidak
sepenuhnya berlaku untuk wajah DPR 2014-2019. Disertai pikulan beban akan citra
dan kinerja periode sebelumnya, pada wajah baru DPR kali ini tak mudah bagi
publik untuk serta merta menyematkan paling tidak sebuah kata harapan agar
menjadi parlemen berwibawa.
Sikap seperti itu bukan tanpa
sebab mengingat DPR periode sebelumnya meninggalkan catatan buram. Selama periode
buram itu, publik mengingat betapa citra dan kinerja parlemen tersungkur di
mata publik. Pada fungsi DPR sebagai lembaga yang membuat dan menetapkan UU
misalnya, hanya 69 RUU atau 27,8% yang selesai dibahas dari 248 rancangan UU
prioritas Prolegnas 2009-2014. Hal itu belum pula dicatat mengenai kualitas RUU
yang disahkan sebagian diujimaterikan ke MK.
Selain itu, publik sering dibuat jengkel
oleh beberapa hal yang merusak citra DPR. Seperti tingkat kehadiran anggota
yang rendah dalam sidang, belum termasuk etika dan perilaku tidak terpuji
beberapa anggota dalam persidangan, usulan kontroversial seperti membangun
gedung baru dan meminta dana aspirasi dapil.
Tak hanya itu, kasus korupsi yang
menyeret sejumlah anggota makin membenamkan citra parlemen. Terkini adalah memutuskan
pilkada melalui DPRD. Beban catatan buram seperti itu tidak ringan bagi
parlemen baru. Dari komposisi keanggotaannya, parlemen baru terdiri atas 43,2%
atau 242 wajah lama, sedangkan muka baru 56,8% atau 318 orang. Artinya, risiko
terjadinya kontinuitas kinerja parlemen yang buruk tidak kecil. Bagaimanapun
anggota muka lama meskipun tercatat juga sebagian dari mereka dilihat publik
cukup berprestasi, sedikit banyak ikut menyumbang terbentuknya persepsi negatif
publik terhadap DPR.
Persoalan lain, parlemen baru ini
merupakan produk Pileg 2014 yang oleh banyak pihak dinilai sarat transaksional.
Dalam catatan ICW, betapa tren politik uang pascareformasi meningkat. Pemilu 1999
sebanyak 62 kasus, Pemilu 2004 (113), Pemilu 2009 (150), dan pada Pemilu 2014
(313 kasus). Ketika pemilu dilalui dengan serangkaian pelanggaran politik uang,
harapan mendapatkan wakil rakyat yang memiliki integritas, kredibilitas, dan etos
kerja yang baik juga kecil.
Maka ketika optimisme publik
tidak muncul terhadap parlemen baru, tak ada jalan lain bagi wakil rakyat yang
sudah dilantik pada 1 Oktober 2014 untuk memperbaiki kinerja. Paling tidak,
sebagai political representation, DPR ke depan perlu fokus pada perbaikan
fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi tersebut akan berjalan baik
jika di benak wakil rakyat timbul keinginan kuat mengabdikan diri kepada
rakyat.
Keterbelahan
Sebuah kebaruan kinerja DPR seharusnya
muncul karena dibanding periode sebelumnya, jumlah partai di Senayan saat ini
bertambah jadi 10 dengan masuknya Nasdem. Dinamika internal fraksi juga akan
berubah karena sebagian partai mendapatkan jumlah kursi lebih banyak dari
sebelumnya seperti dialami PDIP, Gerindra, PAN, PKB, dan PPP. Sementara partai
politik yang mengalami penurunan kursi DPR adalah Golkar, Partai Demokrat, PKS,
dan Partai Hanura.
Namun, dinamika lain yang menjadi
pertaruhan politik ke depan adalah keterbelahan dua blok koalisi yang tidak mudah
dicairkan lantaran ekses dari hasil Pilpres 2014: Koalisi Merah Putih (KMP)
pendukung Prabowo dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi. Dengan
jumlah kursi DPR yang lebih banyak, KMP saat ini terlihat lebih leluasa
mengegolkan agenda politiknya. Meskipun kesan yang tampak juga merupakan cara KMP
mengelola kekecewaan atas kekalahan di pilpres.
Untuk itu, kemenangan paket
pimpinan DPR oleh KMP menimbulkan sinisme publik dan respons negatif dunia
usaha. Kelima pimpinan DPR tersebut: Ketua DPR Setya Novanto dari Fraksi
Golkar, dan empat wakil ketuanya, Fadli Zon dari Fraksi Gerindra, Fahri Hamzah dari
Fraksi PKS, Taufik Kurniawan dari Fraksi PAN, serta Agus Hermanto dari Fraksi
Demokrat.
Publik tentu mengetahui sepak
terjang Setya Novanto sejauh ini, begitu juga nama seperti Fahri Hamzah ataupun
Fadli Zon. Komposisi pimpinan DPR tersebut seolah memperlihatkan ada gelagat
politik yang ingin membawa parlemen ke depan bukan sebagai institusi yang
berfungsi mengawasi melainkan ìinstitusi penjegalî pemerintah. Jika tidak ada
perubahan signifikan atas peta politik Senayan saat ini, publik harus bersiap melihat
parlemen nanti dipenuhi akrobat politik. (10)
— Ridho Imawan Hanafi, peneliti dari
Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
Sumber : epaper SM hal 6 edisi SELASA,
14 OKTOBER 2014
No comments:
Post a Comment