Monday, 20 October 2014

Defisit Harapan DPR

Ridho Imawan Hanafi
IDEALNYA, penanda tiap hal baru, apalagi hal yang sebelumnya membekaskan keprihatinan, sikap optimistis disertai sejumlah harapan lebih sering dikedepankan. Namun hal itu tampaknya tidak sepenuhnya berlaku untuk wajah DPR 2014-2019. Disertai pikulan beban akan citra dan kinerja periode sebelumnya, pada wajah baru DPR kali ini tak mudah bagi publik untuk serta merta menyematkan paling tidak sebuah kata harapan agar menjadi parlemen berwibawa.
Sikap seperti itu bukan tanpa sebab mengingat DPR periode sebelumnya meninggalkan catatan buram. Selama periode buram itu, publik mengingat betapa citra dan kinerja parlemen tersungkur di mata publik. Pada fungsi DPR sebagai lembaga yang membuat dan menetapkan UU misalnya, hanya 69 RUU atau 27,8% yang selesai dibahas dari 248 rancangan UU prioritas Prolegnas 2009-2014. Hal itu belum pula dicatat mengenai kualitas RUU yang disahkan sebagian diujimaterikan ke MK.
Selain itu, publik sering dibuat jengkel oleh beberapa hal yang merusak citra DPR. Seperti tingkat kehadiran anggota yang rendah dalam sidang, belum termasuk etika dan perilaku tidak terpuji beberapa anggota dalam persidangan, usulan kontroversial seperti membangun gedung baru dan meminta dana aspirasi dapil.
Tak hanya itu, kasus korupsi yang menyeret sejumlah anggota makin membenamkan citra parlemen. Terkini adalah memutuskan pilkada melalui DPRD. Beban catatan buram seperti itu tidak ringan bagi parlemen baru. Dari komposisi keanggotaannya, parlemen baru terdiri atas 43,2% atau 242 wajah lama, sedangkan muka baru 56,8% atau 318 orang. Artinya, risiko terjadinya kontinuitas kinerja parlemen yang buruk tidak kecil. Bagaimanapun anggota muka lama meskipun tercatat juga sebagian dari mereka dilihat publik cukup berprestasi, sedikit banyak ikut menyumbang terbentuknya persepsi negatif publik terhadap DPR.
Persoalan lain, parlemen baru ini merupakan produk Pileg 2014 yang oleh banyak pihak dinilai sarat transaksional. Dalam catatan ICW, betapa tren politik uang pascareformasi meningkat. Pemilu 1999 sebanyak 62 kasus, Pemilu 2004 (113), Pemilu 2009 (150), dan pada Pemilu 2014 (313 kasus). Ketika pemilu dilalui dengan serangkaian pelanggaran politik uang, harapan mendapatkan wakil rakyat yang memiliki integritas, kredibilitas, dan etos kerja yang baik juga kecil.
Maka ketika optimisme publik tidak muncul terhadap parlemen baru, tak ada jalan lain bagi wakil rakyat yang sudah dilantik pada 1 Oktober 2014 untuk memperbaiki kinerja. Paling tidak, sebagai political representation, DPR ke depan perlu fokus pada perbaikan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi tersebut akan berjalan baik jika di benak wakil rakyat timbul keinginan kuat mengabdikan diri kepada rakyat.
Keterbelahan
Sebuah kebaruan kinerja DPR seharusnya muncul karena dibanding periode sebelumnya, jumlah partai di Senayan saat ini bertambah jadi 10 dengan masuknya Nasdem. Dinamika internal fraksi juga akan berubah karena sebagian partai mendapatkan jumlah kursi lebih banyak dari sebelumnya seperti dialami PDIP, Gerindra, PAN, PKB, dan PPP. Sementara partai politik yang mengalami penurunan kursi DPR adalah Golkar, Partai Demokrat, PKS, dan Partai Hanura.
Namun, dinamika lain yang menjadi pertaruhan politik ke depan adalah keterbelahan dua blok koalisi yang tidak mudah dicairkan lantaran ekses dari hasil Pilpres 2014: Koalisi Merah Putih (KMP) pendukung Prabowo dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi. Dengan jumlah kursi DPR yang lebih banyak, KMP saat ini terlihat lebih leluasa mengegolkan agenda politiknya. Meskipun kesan yang tampak juga merupakan cara KMP mengelola kekecewaan atas kekalahan di pilpres.
Untuk itu, kemenangan paket pimpinan DPR oleh KMP menimbulkan sinisme publik dan respons negatif dunia usaha. Kelima pimpinan DPR tersebut: Ketua DPR Setya Novanto dari Fraksi Golkar, dan empat wakil ketuanya, Fadli Zon dari Fraksi Gerindra, Fahri Hamzah dari Fraksi PKS, Taufik Kurniawan dari Fraksi PAN, serta Agus Hermanto dari Fraksi Demokrat.
Publik tentu mengetahui sepak terjang Setya Novanto sejauh ini, begitu juga nama seperti Fahri Hamzah ataupun Fadli Zon. Komposisi pimpinan DPR tersebut seolah memperlihatkan ada gelagat politik yang ingin membawa parlemen ke depan bukan sebagai institusi yang berfungsi mengawasi melainkan ìinstitusi penjegalî pemerintah. Jika tidak ada perubahan signifikan atas peta politik Senayan saat ini, publik harus bersiap melihat parlemen nanti dipenuhi akrobat politik. (10)
— Ridho Imawan Hanafi, peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta

Sumber : epaper SM hal 6 edisi SELASA, 14 OKTOBER 2014

No comments:

Post a Comment