Tuesday 10 November 2015

Zaman Baru, Pahlawan Baru

Oleh Dhoni Zustiyantoro dan Muhammad Syukron

MOMEN 10 November begitu kental dengan sebutan Hari Pahlawan. Hari ketika 70 tahun silam ribuan arek Surabaya bersatu menumpas kolonialisme. Namun, itu semua adalah masa ketika Indonesia dalam keadaan terjajah. Kini, pada zaman baru, muncul lawan bersama baru, dan pahlawan baru. Pahlawan dan musuh bersama itu masing-masing mewujud dalam berbagai bidang.

Pahlawan merupakan sebutan untuk pejuang yang dengan gagah berani dan rela berkorban membela kebenaran. Orang-orang yang berjuang memerdekakan bangsa dari kolonialisme pada masa itu adalah orang yang memiliki kesadaran bahwa untuk bisa bahagia, sebuah bangsa harus merdeka.

Antropolog dari Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Prof Dr Mudjahirin Thohir, menyatakan pada masa sebelum kemerdekaan, pahlawan identik dengan konsekuensi nyawa yang harus dibayar.

Pada masa setelah itu, konsepsi ”musuh bersama” telah beralih wujud menjadi banyak hal. Berbagai masalah yang ditemui setiap hari, mulai pada tataran elite politik berupa korupsi, perilaku tak etis, hingga berbagai bentuk penyelewengan. Selain itu, musuh bersama mewujud dalam berbagai permasalahan masyarakat dan kurang terpenuhinya hak-hak mereka dalam kehidupan sehari-hari.

”Musuh bersama tidak sekadar dari luar, semisal negara yang ingin menguasai secara ekonomi, tetapi berbagai hal yang tida sepaham dengan komitmen yang dibangun,” kata Mudjahirin. Untuk itu, usaha sadar secara bersama untuk melawan musuh itu.

Sementara itu, taman makam pahlawan kini semakin identik dengan tempat pemakaman kaum militer. Peraturan Presiden nomor 33 tahun 1964 menyebutkan, pahlawan adalah warga negara Republik Indonesia yang gugur atau tewas atau meninggal dunia akibat tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai jasa penjuangan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela negara dan bangsa. Regulasi terkait siapa yang berhak dimakamkan menjadi kabur dan terkesan tempat tersebut hanya untuk kalangan militer saja. ”Memang sudah terjadi overlapping,” kata Mudjahirin.

Meneladani

Tak sekadar mengenang, pemikiran dan aksi para pahlawan pun diharapkan memberi inspirasi tersendiri bagi generasi setelah mereka. Ladang perjuangan saat ini pun tidak harus mengangkat senjata pada era mengisi kemerdekaan. Semua orang dari beragam profesi bisa menjadi pahlawan bagi lingkungan, bagi masyarakat, serta bagi bangsa dan negaranya.

Budayawan Djawahir Muhammad mengatakan, sekarang pahlawan tidak harus berperang mengangkat senjata dalam makna sebenarnya.

”Antara kepahlawanan dan kepemimpinan, semestinya ‘nyambung’dan terefleksikan dalam sifat dan sikap mulia yang bisa menjadi teladan. Karena itu, siapa pun bisa menjadi pahlawan. Bahkan dalam tingkat terkecil, pahlawan keluarga. Ayah menjadi pahlawan bagi anak istrinya, guru jadi pahlawan yang mencerdaskan anak bangsa,” tuturnya.

Persoalannya, kata Djawahir, tidak semua orang menyadari potensi yang dimiliki untuk menjadi pahlawan sesuai bidangnya masingmasing, termasuk mereka yang duduk sebagai wakil rakyat.

Sosiolog dari Undip, Yetty Rochwulaningsih, mengatakan Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November diharapkan tidak sebatas formalitas, tapi nilainilainya perlu diresapi.

”Semangat kerelaan berkorban dan perjuangan tanpa menyerah untuk membela bangsa yang saya kira saat ini harus diimplementasikan. Banyak politikus dan pejabat masuk penjara hanya karena ingin meraup uang sebanyakbanyaknya. Paradigma itu harus diubah untuk ikut membangun bangsa ini. Orientasi yang harus dibangun adalah rela berkorban dan semangat berjuang, bukan minta imbalan materi,” ujarnya.

Jadi Ideologi

Kritik disampaikan pekerja sosial, pengamat politik, dan aktivis LSM Paulus Mujiran. Pada momen memperingati Hari Pahlawan atau kemerdekaan semua orang nyaris melakukan kegiatan yang seragam. Celakanya, kegiatan itu terus berulang dari tahun ke tahun.

”Peringatan Hari Pahlawan kian hambar maknanya dan tidak memiliki daya gugah yang membangkitkan nasionalisme kebangsaan. Keriuhrendahan hanya di permukaan, sementara nilai nasionalisme kejuangan para pahlawan hilang tak membekas. Tentu ini menjadi persoalan yang amat serius karena di tengah konstelasi politik kebangsaan yang diwarnai dengan aneka peristiwa memilukan, seperti kemarakan kasus korupsi, kekerasan, dan kemerosotan moral bangsa nilai-nilai kebangsaan justru semakin memudar,” paparnya.

Sentimen pembelaan kepada bangsa dan negara pun kian tidak menjadi ideologi penting segenap komponen anak-anak bangsa. Dengan nasionalisme, seharusnya masyarakat memiliki keyakinan dan harga diri terhadap bangsa-bangsa lain di dunia. Nilai kejuangan para pahlawan berupa nasionalisme dan patriotisme menjadi senjata yang ampuh melawan berbagai macam persoalan kebangsaan yang kini dihadapi.

Kemerdekaan yang diproklamasikan para pendiri bangsa ini sebenarnya bukan dalam arti seluas-luasnya untuk kepentingan sendiri, melainkan berani berkorban dan menderita untuk kesejahteraan orang lain. Kemerdekaan yang berwajah ugahari, berani menderita dan menahan diri untuk kepentingan yang lebih luas adalah ciri khas semangat kejuangan para pahlawan.

Perayaan kemerdekaan dan Hari Pahlawan hanya dirasakan dalam konteks individual. Konsepsi kemerdekaan disederhanakan sekadar ekspresionisme sehingga lebih mementingkan peran individual. ”Kita menjadi sangat bebas melakukan apa saja, termasuk melakukan praktik korupsi, suapmenyuap, penimbunan dana rakyat. Selain itu, di dataran elite politik banyak kasus besar yang tidak terungkap dengan lugas. Ini tentu menimbulkan tanda tanya besar seperti apakah makna kemerdekaan ketika merdeka hanya milik sekelompok orang,” tandasnya.

Penanggung Jawab :Triyanto Triwikromo, Agus Fathuddin Yusuf

Sumber : Epaper SM edisi Selasa, 10 November 2015 Hal 6

No comments:

Post a Comment