Oleh Dhoni Zustiyantoro dan Muhammad Syukron
MOMEN 10 November begitu kental dengan sebutan Hari Pahlawan.
Hari ketika 70 tahun silam ribuan arek Surabaya bersatu menumpas kolonialisme.
Namun, itu semua adalah masa ketika Indonesia dalam keadaan terjajah. Kini,
pada zaman baru, muncul lawan bersama baru, dan pahlawan baru. Pahlawan dan
musuh bersama itu masing-masing mewujud dalam berbagai bidang.
Pahlawan merupakan sebutan untuk pejuang yang dengan gagah
berani dan rela berkorban membela kebenaran. Orang-orang yang berjuang
memerdekakan bangsa dari kolonialisme pada masa itu adalah orang yang memiliki
kesadaran bahwa untuk bisa bahagia, sebuah bangsa harus merdeka.
Antropolog dari Universitas Diponegoro (Undip), Semarang,
Prof Dr Mudjahirin Thohir, menyatakan pada masa sebelum kemerdekaan, pahlawan
identik dengan konsekuensi nyawa yang harus dibayar.
Pada masa setelah itu, konsepsi ”musuh bersama” telah beralih
wujud menjadi banyak hal. Berbagai masalah yang ditemui setiap hari, mulai pada
tataran elite politik berupa korupsi, perilaku tak etis, hingga berbagai bentuk
penyelewengan. Selain itu, musuh bersama mewujud dalam berbagai permasalahan
masyarakat dan kurang terpenuhinya hak-hak mereka dalam kehidupan sehari-hari.
”Musuh bersama tidak sekadar dari luar, semisal negara yang
ingin menguasai secara ekonomi, tetapi berbagai hal yang tida sepaham dengan komitmen
yang dibangun,” kata Mudjahirin. Untuk itu, usaha sadar secara bersama untuk
melawan musuh itu.
Sementara itu, taman makam pahlawan kini semakin identik
dengan tempat pemakaman kaum militer. Peraturan Presiden nomor 33 tahun 1964
menyebutkan, pahlawan adalah warga negara Republik Indonesia yang gugur atau
tewas atau meninggal dunia akibat tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai
mutu dan nilai jasa penjuangan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela
negara dan bangsa. Regulasi terkait siapa yang berhak dimakamkan menjadi kabur
dan terkesan tempat tersebut hanya untuk kalangan militer saja. ”Memang sudah
terjadi overlapping,” kata Mudjahirin.
Meneladani
Tak sekadar mengenang, pemikiran dan aksi para pahlawan pun
diharapkan memberi inspirasi tersendiri bagi generasi setelah mereka. Ladang
perjuangan saat ini pun tidak harus mengangkat senjata pada era mengisi
kemerdekaan. Semua orang dari beragam profesi bisa menjadi pahlawan bagi
lingkungan, bagi masyarakat, serta bagi bangsa dan negaranya.
Budayawan Djawahir Muhammad mengatakan, sekarang pahlawan
tidak harus berperang mengangkat senjata dalam makna sebenarnya.
”Antara kepahlawanan dan kepemimpinan, semestinya
‘nyambung’dan terefleksikan dalam sifat dan sikap mulia yang bisa menjadi
teladan. Karena itu, siapa pun bisa menjadi pahlawan. Bahkan dalam tingkat
terkecil, pahlawan keluarga. Ayah menjadi pahlawan bagi anak istrinya, guru
jadi pahlawan yang mencerdaskan anak bangsa,” tuturnya.
Persoalannya, kata Djawahir, tidak semua orang menyadari
potensi yang dimiliki untuk menjadi pahlawan sesuai bidangnya masingmasing,
termasuk mereka yang duduk sebagai wakil rakyat.
Sosiolog dari Undip, Yetty Rochwulaningsih, mengatakan Hari
Pahlawan yang diperingati setiap 10 November diharapkan tidak sebatas
formalitas, tapi nilainilainya perlu diresapi.
”Semangat kerelaan berkorban dan perjuangan tanpa menyerah
untuk membela bangsa yang saya kira saat ini harus diimplementasikan. Banyak
politikus dan pejabat masuk penjara hanya karena ingin meraup uang sebanyakbanyaknya.
Paradigma itu harus diubah untuk ikut membangun bangsa ini. Orientasi yang
harus dibangun adalah rela berkorban dan semangat berjuang, bukan minta imbalan
materi,” ujarnya.
Jadi Ideologi
Kritik disampaikan pekerja sosial, pengamat politik, dan
aktivis LSM Paulus Mujiran. Pada momen memperingati Hari Pahlawan atau
kemerdekaan semua orang nyaris melakukan kegiatan yang seragam. Celakanya,
kegiatan itu terus berulang dari tahun ke tahun.
”Peringatan Hari Pahlawan kian hambar maknanya dan tidak
memiliki daya gugah yang membangkitkan nasionalisme kebangsaan. Keriuhrendahan
hanya di permukaan, sementara nilai nasionalisme kejuangan para pahlawan hilang
tak membekas. Tentu ini menjadi persoalan yang amat serius karena di tengah
konstelasi politik kebangsaan yang diwarnai dengan aneka peristiwa memilukan,
seperti kemarakan kasus korupsi, kekerasan, dan kemerosotan moral bangsa
nilai-nilai kebangsaan justru semakin memudar,” paparnya.
Sentimen pembelaan kepada bangsa dan negara pun kian tidak
menjadi ideologi penting segenap komponen anak-anak bangsa. Dengan
nasionalisme, seharusnya masyarakat memiliki keyakinan dan harga diri terhadap
bangsa-bangsa lain di dunia. Nilai kejuangan para pahlawan berupa nasionalisme
dan patriotisme menjadi senjata yang ampuh melawan berbagai macam persoalan
kebangsaan yang kini dihadapi.
Kemerdekaan yang diproklamasikan para pendiri bangsa ini
sebenarnya bukan dalam arti seluas-luasnya untuk kepentingan sendiri, melainkan
berani berkorban dan menderita untuk kesejahteraan orang lain. Kemerdekaan yang
berwajah ugahari, berani menderita dan menahan diri untuk kepentingan yang
lebih luas adalah ciri khas semangat kejuangan para pahlawan.
Perayaan kemerdekaan dan Hari Pahlawan hanya dirasakan dalam
konteks individual. Konsepsi kemerdekaan disederhanakan sekadar ekspresionisme
sehingga lebih mementingkan peran individual. ”Kita menjadi sangat bebas
melakukan apa saja, termasuk melakukan praktik korupsi, suapmenyuap, penimbunan
dana rakyat. Selain itu, di dataran elite politik banyak kasus besar yang tidak
terungkap dengan lugas. Ini tentu menimbulkan tanda tanya besar seperti apakah
makna kemerdekaan ketika merdeka hanya milik sekelompok orang,” tandasnya.
Penanggung Jawab :Triyanto Triwikromo, Agus Fathuddin Yusuf
Sumber : Epaper SM edisi Selasa, 10 November 2015 Hal 6
No comments:
Post a Comment