Wednesday, 11 November 2015

Sulitnya Memberantas Hepatitis C

HEPAR atau hati merupakan organ target yag diserang oleh virus Hepatitis C. Lebih spesifik, virus hepatitis C (HCV) menyerang hepatosit dan limfosit B, sel daya tahan tubuh yang memproduksi antibodi untuk melawan virus Hepatitis C.

Hepatitis C akut maupun kronis dapat saja asimtomatis (pasien tidak menyadari gejala apapun), tetapi karier, potensial menularkan virus kepada seseorang, meski tampak sehat-sehat saja.

Penyakit ini memang bisa dihilangkan, 15 persen infeksi bisa bersih dengan sendirinya (tereliminasi) tanpa pengobatan. Sekitar 40-80 persen dapat tereliminasi dengan terapi obat-obatan farmakalogis antivirus, sehingga terjauhkan dari komplikasi sirosis dan kanker hati (karsinoma hepatoselular) yang menjadi penyebab penting kematian pada pasien Hepatitis C kronis.

Terapi saat ini, berupa kombinasi antara interferon dengan preparat antivirus (ribavirin, boceprevir, teleprevir, atau simeprevir) dengan respons keberhasilan yang bervariasi. Terapi peginterferon dengan ribavirin merupakan standar tetap (gold standard) untuk terapi infeksi HCV kronis pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Namun, Ribavirin dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal ginjal dimana laju filtrasi glomerulus di bawah 60 mililiter per menit.

Prioritaskan Pencegahan

Akses terapi farmakologis membutuhkan waktu pengobatan hingga 48 minggu (hampir satu tahun). Selain, manifestasi efek samping obat semakin signifikan seiring dengan perjalanan masa pengobatan, juga tingginya beban biaya pengobatan. Karena itu, upaya pencegahan mendapat tempat yang penting dalam pengendalian penularan virus hepatitis C.

Seperti pada penularan (human immunodeficiency virus (HIV) dan virus Hepatitis B, HCV tidak menular lewat kontak tubuh berupa berjabat tangan, penggunaan secara bersama-sama alat makan atau peralatan masak, dan gigitan nyamuk.

Menular lewat luka pada kulit saat kecelakaan lalu lintas. Virus dapat bertahan hidup di alam terbuka selama 16 hari pada suhu lingkungan 25 derajat celcius, dan dua hari pada suhu 37 derajat celcius. Bahkan dapat bertahan selama 6 minggu pada suhu 4 derajat celcius atau kurang. Namun dengan pemanasan hingga suhu 70 derajat celcius saja, virus Hepatitis C sudah mengalami inaktivasi..

Penggunaan pisau cukur, sikat gigi yang bergantian dapat menjadi media penularan virus Hepatitis C antarindividu. Sikat gigi dapat menimbulkan luka pada gusi, sehingga cairan darah dapat menempel pada sikat gigi. Begitu pula, cairan darah dapat menempel pada pisau cukur akibat luka lecet atau luka iris saat mencukup jenggot atau kumis.

Penularan virus Hepatitis C dari ibu yang terinfeksi kepada janin dalam kandungan. Dapat pula terjadi saat tindakan medis, misalnya seksio sesaria. Air susu ibu bukanlah media untuk penularan virus Hepatitis C.

Tato tradisional pada kulit meningkatkan risiko penularan virus Hepatitis C sekitar 2-3 kali, khususnya bila menggunakan peralatan tato yang tidak steril atau tinta tato yang terkontaminasi partikel virus HCV yang infektif. Juga risiko penularan dapat terjadi saat sirkumsisi dan tusuk jarum (akupunktur).

Meskipun transmisi HCV lewat hubungan intim tergolong sangat rendah, tetap dianjurkan hubungan intim yang aman dan batasi pasangan seksual. Infeksi HIV merampas daya tahan tubuh, sehingga HCV dpat berkembang biak leluasa tatkala terinfeksi HCV akut.

Menghindari penggunaan narkoba suntik, dapat menurunkan risiko transmisi virus Hepatitis C hingga 75 persen. Pada kasus Hepatitis C kronis, penderita harus menghindari alkohol dan obat-obatan yang dapat menimbulkan kerusakan pada organ hepar.

Aktivitas fisik tidak perlu dibatasi pada pasien terinfeksi HCV akut atau pun kronis. Tidak perlu istirahat total di tempat tidur (bedrest). Sebagian besar pasien kembali bekerja atau beraktivitas normal setelah gejala ikterus sirna, meskipun fungsi liver belum normal.

Selera makan cenderung menurun saat terserang infeksi HCV, tetapi selera makan biasanya pulih beberapa hari setelah infeksi mereda. Mengonsumsi hidangan dengan diet seimbang memperbaiki status gizi penderita, sehingga suplemen vitamin tidak diperlukan.

Penggunaan obat kortikosteroid dapat meningkatkan laju perkembangbiakan (replikasi) virus Hepatitis C, sehingga kadar RNA HCV dapat meningkat 100 kali dibanding sebelum pemberian kortikosteroid.
Terakhir namun penting, adalah menjaga kesehatan organ ginjal, sehingga terjauhkan dari kemungkinan penyakit ginjal kronis yang memerlukan terapi hemodialisis. Dengan menjaga daya tahan tubuh, meskipun terinfeksi virus Hepatitis C, maka tubuh memiliki kemampuan untuk mengeliminasi virus tersebut sehingga tidak menutup kemungkinan kesembuhan spontan diraih.

F Suryadjaja, dari berbagai sumber-

Sumber : Epapar SM Edisi Rabu, 11 November 2015 Hal 23

Re-endemi Hepatitis C Nosokomial

Oleh F Suryadjaja

Kasus endemi HCV akut pada salah satu rumah sakit (hepatitis C nosokomial, atau tertular), di Singapura sontak menganggetkan dunia kesehatan. Hingga 22 September 2015, terdeteksi 22 pasien HCV genotipe 1b. Dikaitkan dengan penggunaan vial obat injeksi berulang pada prosedur hemodialisis.
Kejadian luar biasa tersebut ditindaklanjuti pada 8 Oktober 2015 dengan melakukan pemeriksaan uji saring untuk virus Hepatitis C (HCV) pada 678 pasien yang pernah dirawat di rumah sakit tersebut antara Januari hingga Juni 2015. Juga 273 tenaga kesehatan. Hasil sementara 255 dari 325 pasien yang diuji saring memberikan hasil negatif terhadap infeksi virus Hepatitis C.

Dengan demikian, endemi penyakit infeksi nosokomial HCVhal yang perlu diwaspadi di rumah sakit dan di tengah penduduk dunia. Tahun 2000, di Amerika Serikat dilakukan survei pada pusat hemodialisis terhadap kemungkinan kehadiran infeksi HCV. Hasilnya, sebesar 1,7 persen staf yang bertugas di unit hemodialisis positif terhadap antibodi anti-HCV. Begitu pula, positif pada 8,4 persen pasien yang pernah menjalani prosedur hemodialisis.

Dengan manajemen uji saring (screening) yang rutin dan perhatian lebih tinggi pada upaya pencegahan penularan (termasuk cuci tangan bagi petugas medis), prevalensi infeksi HCV di rumah sakit sudah jauh menurun.

Hepatitis adalah infeksi virus yang menyerang hati dan bisa menyebabkan penyakit akut dan kronis. Penyakit ini biasa disebut sebagai epidemi bisu karena kerusakan akibat penyakit ini seringkali diabaikan. WHO mencatat bahwa hepatitis adalah penyebab kematian ketujuh terbesar. Organisasi ini memperkirakan 240 juta orang terinfeksi kronis hepatitis B dan hingga 150 juta orang terinfeksi virus hepatitis C. Bersama-sama, hepatitis B dan C adalah penyebab 1,5 juta kematian setiap tahunnya.

Virus hepatitis B ditularkan melalui darah atau cairan tubuh. Sebagian besar infeksi terjadi dari ibu ke anak. Prevalensi Hepatitis B tertinggi ada di Afrika Sub-Sahara dan Asia Timur.

Virus hepatitis C adalah virus yang menyerang darah, yang biasanya ditularkan melalui suntikan obat. Direktur Departemen Layanan Pengiriman dan Keamanan WHO, Edward Kelley mengatakan, mencegah penggunaan jarum suntik yang tidak aman adalah kunci untuk menghapus epidemi ini.

”Suntikan yang tidak aman adalah penyebab 32 persen infeksi hepatitis B, sekitar 40 persen hepatitis C. Prosedur medis paling sering dilakukan saat ini di dunia adalah suntikan, 16 miliar setiap tahun dan tingkat suntikan tidak aman dari jumlah itu, kami perkirakan sekitar 40 persen,” ujarnya.

WHO melakukan kampanye untuk mengurangi suntikan tidak aman dengan mendorong penggunaan jarum suntik streil yang khusus digunakan untuk sekali pakai.

Lemah

Kemampuan merubah genom (quasispesies), menyebabkan perjalanan klinis infeksi HCVakut begitu bervariasi.

Sekitar 25-35 persen pasien HCV akut merasakan tubuh terasa lemah, terjadi selera makan yang menurun dan badan menguning. Sementara, antibodi anti-HCVbisa terdeteksi pada pasien dengan gejala penyakit Hepatitis C dalam 2 minggu baru bisa terlihat 80 persen, dan pada 3 bulan setelah terinfeksi HCVterlihat 90 persen.

Hingga kini, penularan virus Hepatitis C masih diyakini lewat cairan darah atau cairan tubuh. Dengan demikian, transmisi dari satu individu ke idividu lain lewat darah transfusi, peralatan medis hemodialisis. Penularan lewat cairan tubuh saat hubungan intim dengan penderita hepatitis C, atau lewat alat suntik yang tidak sekali pakai pada penggunaan narkoba suntik.

Infeksi HCV merupakan penyakit yang sangat mudah menular. Meskipun penularan virus Hepatitis C telah diketahui dan telah dilakukan upaya pencegahannya, namun kasus masih terjadi. Kondisi ini mengingatkan pada abad ke-20 yang mana endemi Hepatitis C dijumpai di berbagai kawasan. Di Amerika Serikat, insidensi hepatitis C akut menurun tajam selama dekade akhir abad ke-20, meskipun prevalensi kasus tetap tinggi.

HCV karier merupakan tantangan pelik bagi ahli epidemiologi penyakit menular akibat mikroorganisme pathogen HCV. Sebagian besar kasus infeksi HCV bersifat asimtomatis (suatu penyakit namun pasien tidak menyadari gejala apapun), dalam aliran darah penderita terdapat kadar partikel virus hepatitis yang tinggi dan berpotensi untuk menular kepada individu lain.

Penderita demikian disebut memiliki ”karier”, seseorang yang masih terinfeksi virus Hepatitis C akut namun tidak terlihat dan tidak bergejala, namun dapat menularkan ke orang lain. Terjadi juga infeksi virus hepatitis C kronis, di mana gejala klinis tidak spesifik ke arah infeksi kronis Hepatitis virus C, sehingga acapkali diagnosis infeksi HCVterlewatkan.

Pada Agustus 2012, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat merekomendasikan untuk identifikasi penyakit Hepatitis C kronis pada penduduk yang lahir antara tahun 1945 hingga 1965 yang kini berusia sekitar 50-70 tahun. Dari jumlah yang terkumpul, 808.600 orang diantaranya positif Hepatitis C kronis walau asimtomatis, tetap potensial untuk menular.

Penyakit Ginjal Kronis

Gagal ginjal kronis bisa menjadi penyebab infeksi virus Hepatitis C, antara lain lewat prosedur hemodialisis. Pasalnya, hemodialisis memiliki risiko lebih tinggi untuk tertular HCV. Pada pemeriksaan serologis, memang ditemukan prevalensi antibodi anti-HCV lebih tinggi pada pasien hemodialisis dibanding populasi yang sehat.

Di Amerika Serikat antibodi positif terhadap HCV sekitar 5-10 persen pasien hemodialisis. Tetapi, hasil pemeriksaan antibodi anti-HCV pada pasien hemodialisis tidak dapat membedakan pasien dengan infeksi HCV akut atau kronis. Karenanya, pemeriksaan serologis antibodi harus dikonfimasi dengan uji RNA HCV pada sampel darah pasien hemodialisis.

Pada pasien hemodialisis ketika dilakukan pemeriksaan bisa terjadi positif palsu pada polymerase chain reaction (PCR), lantaran kehadiran obat heparin dalam sirkulasi darah. Karena itu, sampel darah untuk pemeriksaan PCR harus diambil sebelum pasien menjalani hemodialisis.

Secara rasional, pasien hemodialisis berisiko tinggi terjadi penularan penyakit lewat cairan darah. Lantaran lamanya kontak cairan darah dengan peralatan hemodialisis yang terkontaminasi virus HCV. Di berbagai tempat di dunia, prevalensi infeksi HCV bervariasi dari 5 hingga 60 persen pasien hemodialisis. Selain itu, prevalensi infeksi HCV dipengaruhi oleh faktor usia, sehubungan lanjut usia cenderung imunokompromi atau imunitas tubuh lemah, sehingga HCV lebih leluasa untuk berkembang biak.

Pasien hemodialisis tidak hanya memiliki kemungkinan untuk tertular HCV, tetapi juga HBV dan HIV. Sehingga koinfeksi ini dapat mempengaruhi kemungkinan infeksi HCV berlanjut ke arah sirosis hati dan karsinoma hepatoselular, serta peningkatan angka kematian dari kasus infeksi HCV . Sebaliknya, angka eradikasi infeksi HCV dengan obat antiviral lebih tinggi pada pasien hemodialisis ketimbang pasien dengan ginjal normal. Sebab, kadar obat antiviral cenderung lebih tinggi kadarnya akibat efek kumulatif tatkala rendahnya ekskresi obat antivirus pada pasien disfungsi ginjal.

Infeksi HCV dapat terjadi pada individu dengan penyakit ginjal kronis atau gagal ginjal. Dengan menjalani terapi hemodialisis dapat merupakan imunosupresan (penekan) bagi produksi antibodi anti-HCV, sehingga memberikan hasil negatif palsu pada kasus infeksi virus HCV yang menjalani terapi hemodialisis untuk penyakit gagal ginjal kronis. Padahal sebelum menjalani hemodialisis, antibodi anti-HCV masih positif. Karena itu, hasil pemeriksaan RNA HCV lebih bernilai ketimbang pemeriksaan serologis antibodi anti-HCV pada pasien infeksi HCV yang menjalani hemodialisis, sehingga status karier dapat diminimalisasi.

F Suryadjaja adalah dokter pada Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali.

Sumber : Epapar SM Edisi Rabu, 11 November 2015 Hal 23

Menjadi Pintar dan Berkemanusiaan

Oleh Liliana

MENERIMA ribuan mahasiswa setiap tahun dari berbagai penjuru Indonesia membawa konsekuensi bagi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (USD). Kampus dengan sekitar 10.000 mahasiswa dari berbagai belahan Nusantara ini adalah rumah untuk semua anak yang mau berkembang. Di tengah krisis esensi hidup sebagai manusia, USD hadir untuk merangkul kaum muda supaya melihat kembali esensi menjadi makhluk yang berperan atas keberlangsungan kehidupan di bumi, bukan makhluk yang berkuasa atas bumi.

Hidup sebagai manusia utuh berarti mau memberikan kesempatan kepada manusia lain untuk berkembang. Di sini, setiap tahunnya, ada puluhan mahasiswa kerja sama dari pelosok daerah yang dikirim untuk mencicipi pendidikan yang layak. Anakanak yang bahkan untuk mencapai rumahpun harus melewati jalan tanah yang berkelok-kelok dan berlubang, sungai yang harus ditempuh dengan perahu, anak-anak dengan kehidupan yang jauh berbeda dengan anak-anak di kota.

Pendampingan

Mereka tidak semata-mata diterima di USD begitu saja. Menerima mereka sebagai mahasiswa berarti bersedia mendampingi mereka secara utuh, cura personalis.

Budaya yang berbeda menyebabkan mereka kesulitan beradaptasi dengan cepat di lingkungan. Budaya di sini bukan hanya mengenai kebiasaan dan bahasa, tetapi juga pola belajar dan pola hidup. Pendampingan seperti orientasi, dialogal, dan pelatihanpelatihan adalah pendampingan yang diberikan atas dasar semangat kemanusiaan.

Pendidikan bukan saja memberikan pengetahuan mengenai ilmu bahasa, teknologi, sejarah dan sebagainya. Melainkan memberikan pengetahuan bagaimana ilmu-ilmu tersebut dapat bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan umat manusia dengan tetap berpegang pada prinsip kehidupan yang harmonis antara manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam.

Menerima sebagai bagian dari USD memiliki tanggung jawab untuk melakukan yang terbaik demi saudara dan tanah mereka. Menerima mereka berarti siap mendengar setiap keluh kesahnya. Mendidik mereka berarti membantu untuk berkembang dari segi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Menjadi pintar saja tidak cukup, menjadi tanpa menjadi baik hanya akan membuat dunia ini kehilangan harmoni kehidupannya.


Liliana, mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Jateng Gayeng dan Spirit Baru

Oleh Imam Nuryanto

Ada banyak hal yang bisa dilakukan masyarakat untuk mendukung Jateng Gayeng, salah satunya menggenjot sektor wisata.

DALAM kamus Bahasa Indonesia ”gayeng” berarti mengembirakan atau menyenangkan. Karena itu, Jateng Gayeng yang menjadi branding baru Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, memiliki makna daerah yang menyenangkan bagi semua kalangan.

Makna menyenangkan sangat luas dan kompleks. Masing-masing individu memiliki parameter atau ukuran berbeda. Bisa saja seseorang sudah merasa senang dengan kondisi Jateng saat ini. Atau sebaliknya, banyak orang yang belum puas. Ini tentu menjadi tantangan bagi Gubernur Ganjar Pranowo dan Wakil Gubernur Heru Sudjatmoko.

Slogan Jateng Gayeng yang dipopulerkan pada penutupan ”Pesta Rakyat” dalam rangka HUT Ke-65 Provinsi Jateng di GOR Satria Purwokerto, 23 Agustus 2015 itu, diharapkan bisa memacu masyarakat untuk lebih kreatif dan inovatif dalam pembangunan.

Logo dan tagline yang bercirikan batik Jawa dengan simbol keris tersebut menggambarkan semangat rakyat untuk membangun. Jateng Gayeng memiliki makna masyarakat yang penuh semangat, berani, tangguh, jujur, ramah, menggembirakan, harmonis dan hangat. Logo dan tagline yang diluncurkan itu sekaligus untuk mempromosikan berbagai potensi yang dimiliki 35 kabupaten/ kota di Jateng, termasuk sektor wisata.

Harapannya, melalui slogan ini, masyarakat berpartisipasi aktif dalam pembangunan atau menjadi spirit baru masyarakat dalam membangun daerah. Gayeng dipilih karena slogan ini biasa diucapkan oleh masyarakat dalam berbagai kesempatan, baik formal maupun informal, dalam suasana keakraban. Pada logo itu terdapat modifikasi huruf ”T” yang menyerupai keris. Seperti diketahui, sifat keris bagi masyarakat Jawa melambangkan keberanian serta kebenaran untuk tujuan kebaikan dan menyatukan diri kepada Tuhan.

Sedangkan huruf ”G” pada kata Jateng menyerupai angka 9 karena mengambil sembilan filosofi Jawa yang melandasi kehidupan, yakni bermanfaat, mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan, bijak dan sabar, menang tanpa merendahkan, tabah, tidak manja, tidak rakus, berlaku jujur, tidak merasa pandai, serta selalu semangat.

Tagline baru itu akan melahirkan spirit masyarakat untuk membangun, baik pembangunan mental, rohaniah maupun pembangunan fisik, seperti perbaikan sarana dan prasarana umum. Harapan dan obsesi Ganjar itu tentu saja harus mendapat dukungan dari semua pihak, baik DPRD, SKPD, bupati, wali kota, LSM, pegawai negeri, tokoh masyarakat, maupun warga.

Sektor Wisata

Ada banyak hal yang bisa dilakukan masyarakat untuk mendukung Jateng Gayeng, salah satunya menggenjot sektor wisata. Seperti diketahui, Jateng dikenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia. Wilayah ini memiliki daya tarik wisata budaya, religius, dan alam.

Hingga November ini, jumlah kunjungan wisatawan domestik ke Jateng mencapai 29 juta orang dari target 25 juta selama 2015, sedangkan kunjungan wisatawan mancanegara sudah mencapai 417 ribu orang, dari target 350 ribu. Khusus wisatawan ke Borobudur dalam setahun mencapai 4 juta - 5 juta pengunjung. Bahkan kalau liburan seperti Lebaran, dalam sehari bisa mencapai 40 ribu - 50 ribu pengunjung. Angka ini masih bisa ditingkatkan jika semua pelaku wisata ikut berpartisipasi.

Caranya, mereka memberikan dukungan dan mempromosikan keindahan objek wisata di Jateng dan bekerja sama dengan biro perjalanan untuk mempromosikan ke luar daerah dan negeri. Selain itu, pemerintah kabupaten/kota diharapkan memberikan dukungan dalam bentuk kerja sama yang saling menguntungkan. Kalau sarana dan prasana wisata komplet, jalan ke lokasi wisata mulus, transportasi mudah, masyarakat ramah terhadap wisatawan dan didukung oleh pemerintah kabupaten/kota, bukan tidak mungkin Jateng akan menjadi tujuan wisatawan, mengalahkan daerah lain.

Berdasarkan data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jateng, potensi objek wisata di 35 kabupaten/kota saat ini tercatat 417 lokasi, terdiri atas 132 lokasi wisata alam, 88 lokasi wisata budaya, 105 lokasi wisata buatan, 21 lokasi wisata minat khusus, dan wisata lain-lain 71 lokasi. Mestinya kekayaan wisata di Jateng itu bisa melahirkan dolar-dolar baru sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi. Dengan potensi wisata yang begitu besar dan lengkap, kalau dikelola profesional, Jateng akan menjadi kota tujuan wisatawan.

Kita punya potensi wisata religius yang besar karena terdapat makam wali yang selalu menjadi daerah tujuan ziarah. Tidak hanya itu, candi-candi besar dan terkenal yang terdapat di Indonesia juga berada provinsi ini. Wisata alam pun tak kalah menarik, seperti Karimunjawa, Mountain Resort Tawangmangu, Baturraden, Rawapening, Kelenteng Sam Poo Kong dan Candi Gedungsongo. Kalau potensi wisata itu digarap serius, sangat mungkin Jateng akan menjadi destinasi baru tujuan wisatawan.
Tapi, bukan pekerjaan mudah untuk memoles semua itu. Membutuhkan sarana dan prasarana serta dana yang tidak sedikit. Promosi yang tidak berkesudahan dan tingkat partisipasi masyarakat juga amat penting. Kenapa masyarakat dilibatkan? Karena mereka yang bersentuhan langsung dengan wisatawan di lapangan.

Ada tiga hal yang perlu dilakukan agar wisatawan betah di Jateng. Pertama dukungan para pelaku wisata, keramahan masyarakat, dan ketiga dukungan dari semua pihak termasuk pemkab/pemkot dan pemprov. Kalau ketiga unsur itu bersatu padu, penulis yakin Jateng akan menjadi daerah tujuan wisata favorit.


Imam Nuryanto, wartawan Suara Merdeka di Semarang
Sumber : Epaper SM edisi Rabu, 11 November 2015 Hal 4

Tuesday, 10 November 2015

Apakah Kita Masih Butuh Pahlawan

Oleh Triyanto Triwikromo

SIAPAKAH pahlawan? Penyair Goenawan Mohamad punya jawaban yang mungkin bagi banyak orang terdengar aneh. ”Saya tidak mengharapkan pahlawan. Orang tidak selalu baik, benar, berani. Tetapi saya mengagumi tindakan yang baik, benar, berani, biapun sebentar.”

Siapa yang pernah berbuat baik, benar, dan berani? Mari kita lihat Bung Tomo, Bung Karno, dan Munir. Sutomo jelas sudah ditetapkan sebagai pahlawan oleh negara, Sukarno hanya disebut sebagai proklamator, sedangkan Munir paling banter baru menjadi nama jalan di Belanda.

Bung Tomo, pendiri Radio Pemberontakan, sekalipun tidak berada di Surabaya pada 10 November yang menggetarkan, tidak seorang pun yang mengatakan dia sebagai pemuda yang penakut, menyimpang dari gairah perjuangan, dan melakukan tindakan-tindakan busuk. Dia berpidato membakar semangat rakyat. Dia berjuang tidak mengejar daulat keratuan atau sekadar jadi pemimpin sebuah rezim. Sebelum wafat, ia bahkan berpesan agar tidak dimakamkan di taman makam pahlawan. Dia dalam salah satu pidato bilang, ”...pengorbanan kita ini tidak akan sia-sia, Saudara-saudara. Anak-anak dan cucu-cucu kita di kemudian hari, insya Allah, pasti akan menikmati segala hasil perjuangan kita.”

Dan Sutomo? Sutomo memang berjuang untuk orang lain. Meskipun diberi jabatan penting oleh Sukarno, antara lain Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang 1945, dia sendiri pada 1978 ditahan di Nirbaya, Kramat Jati, Jakarta, oleh pemerintahan Soeharto. Yang juga tragis, dia juga berkonflik dengan Sukarno. Karena itu di mata orang lain, Bung Tomo juga tak sepenuhnya bisa disebut sebagai ”baik, berani, benar”. Akan tetapi dia telah pernah berindak ”baik, berani, benar” meski sebentar.

Sukarno juga tokoh yang tidak sepenuhnya bisa disebut sebagai hero. Dia bahkan pernah dikritik oleh Bung Tomo karena menikahi Hartini. Dia disingkirkan oleh pemerintah Soeharto dan peran-peran kepahlawanannya dikuburkan dengan berbagai cara.

Siapa pun tahu tanpa Sukarno bisa jadi negeri ini tidak akan merdeka pada 17 Agustus 1945. Itu karena Sukarno, meskipun dipenjara, berani menggalang persatuan untuk melawan penjajah Belanda maupun Jepang, bertindak benar pada saat negeri ini membutuhkan sang penyuara kemerdekaan, dan menjadi tokoh yang baik di antara tokoh-tokoh pengkhianat pada zamannya. Hanya, sekali lagi, tidak sepenuhnya Sukarno hidup dalam kriteria-kriteria kepahlawanan. Dalam ukuran Goenawan Mohamad, dia juga hanya melakukan tindakan yang ”baik, benar, berani” sebentar.

Mari kita lihat tokoh lain. Namanya Munir. Dia telah berjuang melawan tindakan-tindakan negara yang ”militeristik” dan menggelorakan penghormatan kepada hak asasi manusia. Dalam ukuran waktu keberanian, kebenaran, dan kebaikan Munir hanya berlangsung sebentar. Hanya sesaat, tetapi penuh manfaat. Terbukti sekalipun di negara sendiri belum mendapatkan penghormatan yang agung, Belanda telah memberi penghargaan besar. Ada Munir straat di salah satu sudut Den Haag. Ada nilai-nilai kepahlawanan yang dicoba dihargai.

Sekarang muncul pertanyaan: apa yang kita perlukan untuk menjadi pahlawan masa kini? Kriterianya tetap sama: berani, baik, benar. Akan tetapi yang kita lawan berubah. Kita melawan para koruptor. Kita melawan orang-orang yang tak jujur. Kita melawan orang-orang yang hendak menjadikan Indonesia sebagai negeri keok. Kita harus melakukan tindakan-tindakan agung itu meski tidak harus sepanjang kehidupan.


Persoalannya sekarang: apakah kita masih butuh pahlawan? Goenawan tak mengharapkan, tetapi dia mengagumi tindakan kepahlawanan Kita? Semoga masih membutuhkan.

Bergeser pada Manusia Altruistik

Oleh Agustinus Ariawan

SEBUTAN pahlawan kini mulai bergeser di kalangan generasi muda. Tak melulu merujuk kepada orang-orang yang berperan besar dalam kemerdekaan maupun pembangunan bangsa, mereka yang dekat dengan keseharian pun dipandang layak menyandang predikat tersebut.

Guru bagi Ratnanik Dwi Jayanti, mahasiswi FISIPUNS, merupakan salah satu pahlawan pada era terkini. ”Mereka rela berkorban dan mau membagikan ilmu kepada sesama, dalam hal ini para murid,” tutur anggota kelompok paduan suara Voca Erudita ini.

Anggi Widyastuti pun berpendapat senada. Menurut Sekretaris Umum LPM Pabelan UMS ini, pahlawan adalah mereka yang memperjuangkan hak orang lain, kendati perjuangan itu kerap dipandang sebelah mata oleh sebagian khalayak.

Pengorbanan, keikhlasan, kejujuran, serta tekad untuk memberikan yang terbaik bagi orang lain, kini memang lebih diperhatikan kaum muda dalam melekatkan predikat pahlawan kepada seseorang. Orang biasa yang memberikan manfaat besar kepada khalayak pun lebih berarti, ketimbang pendahulu yang gugur dalam perang kemerdekaan.

”Jadi guru, petani, aktivis berjiwa sosial atau pemimpin yang mampu memberi solusi, juga bisa disebut pahlawan,” tegas Lutfi Al Hakim, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa IAIN Surakarta.

Pergeseran makna kepahlawanan ini di mata pengamat sosial Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr Drajat Tri Kartono MSi, lumrah.

Tak heran saat ancaman dulunya berbentuk serangan militer, maka kepada mereka yang berkorban sampai matilah yang kemudian disematkan gelar pahlawan. ”Bahkan veteran yang masih hidup pun tidak disebut sebagai pahlawan. Tidak ada kan sebutan ‘veteran pahlawan’. Beda dari veteran yang meninggal, kemudian makamnya disebut makam pahlawan.”

Bagi Drajat, kini konsep tersebut perlu direvitalisasi. Apalagi konsep kepahlawanan sejak dulu cenderung lekat dengan kematian.

Konsep Kepahlawanan

”Konsep kepahlawanan itu berkait dengan ancaman. Jadi saat seseorang atau masyarakat menghadapi ancaman, kemudian ada orang lain yang mau berkorban dalam menghadapinya, apalagi sampai mati, maka orang itulah yang disebut pahlawan. Persoalannya, ancaman saat ini beda dengan zaman perjuangan kemerdekaan dulu,” kata peraih doktor Sosiologi Universitas Indonesia (UI) tersebut.

Saat ini ancaman yang nyata terjadi adalah ketimpangan sosial. ”Kalau seseorang menghadapi situasi timpang itu lantas dirampok, dihina, atau tidak bisa mengenyam pendidikan, lantas ada seseorang yang berperan mengatasinya, orang itulah yang kemudian dianggap sebagai pahlawan. Jadi kita harus mulai merevitalisasi konsep kepahlawanan,” tandasnya.

Sebaliknya, pemerintah belum melakukan perubahan konsep dasar kepahlawanan tersebut.

”Dalam sosiologi, ada konsep altruistik, yakni berani melakukan sesuatu, yang keuntungannya bukan untuk saya melainkan untuk kehidupan bersama. Nah, sebenarnya konsep pahlawan ya altruistik itu. Jadi pahlawan itu bagian dari masyarakat atau bagian dari teman saya, yang mau melakukan sesuatu untuk kepentingan bersama. Sayang, konsepsi pengetahuan kan dipengaruhi oleh politik. Tergantung si pemegang kuasa mau memberikan penghargaan kepada apa.

Namun, sambung Drajat, berbeda halnya jika penghargaan itu diberikan kepada siapa saja yang berani berbuat baik, seperti Elanto Wijoyono yang menghebohkan dunia maya dengan aksi hadang motor gede (moge) di Yogyakarta, baru-baru ini. ”Ternyata tidak ada apresiasi yang cukup terhadap dia, sehingga tidak masuk kategori pahlawan.”


Sumber : Epaper SM edisi Selasa, 10 November 2015 Hal 6

Zaman Baru, Pahlawan Baru

Oleh Dhoni Zustiyantoro dan Muhammad Syukron

MOMEN 10 November begitu kental dengan sebutan Hari Pahlawan. Hari ketika 70 tahun silam ribuan arek Surabaya bersatu menumpas kolonialisme. Namun, itu semua adalah masa ketika Indonesia dalam keadaan terjajah. Kini, pada zaman baru, muncul lawan bersama baru, dan pahlawan baru. Pahlawan dan musuh bersama itu masing-masing mewujud dalam berbagai bidang.

Pahlawan merupakan sebutan untuk pejuang yang dengan gagah berani dan rela berkorban membela kebenaran. Orang-orang yang berjuang memerdekakan bangsa dari kolonialisme pada masa itu adalah orang yang memiliki kesadaran bahwa untuk bisa bahagia, sebuah bangsa harus merdeka.

Antropolog dari Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Prof Dr Mudjahirin Thohir, menyatakan pada masa sebelum kemerdekaan, pahlawan identik dengan konsekuensi nyawa yang harus dibayar.

Pada masa setelah itu, konsepsi ”musuh bersama” telah beralih wujud menjadi banyak hal. Berbagai masalah yang ditemui setiap hari, mulai pada tataran elite politik berupa korupsi, perilaku tak etis, hingga berbagai bentuk penyelewengan. Selain itu, musuh bersama mewujud dalam berbagai permasalahan masyarakat dan kurang terpenuhinya hak-hak mereka dalam kehidupan sehari-hari.

”Musuh bersama tidak sekadar dari luar, semisal negara yang ingin menguasai secara ekonomi, tetapi berbagai hal yang tida sepaham dengan komitmen yang dibangun,” kata Mudjahirin. Untuk itu, usaha sadar secara bersama untuk melawan musuh itu.

Sementara itu, taman makam pahlawan kini semakin identik dengan tempat pemakaman kaum militer. Peraturan Presiden nomor 33 tahun 1964 menyebutkan, pahlawan adalah warga negara Republik Indonesia yang gugur atau tewas atau meninggal dunia akibat tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai jasa penjuangan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela negara dan bangsa. Regulasi terkait siapa yang berhak dimakamkan menjadi kabur dan terkesan tempat tersebut hanya untuk kalangan militer saja. ”Memang sudah terjadi overlapping,” kata Mudjahirin.

Meneladani

Tak sekadar mengenang, pemikiran dan aksi para pahlawan pun diharapkan memberi inspirasi tersendiri bagi generasi setelah mereka. Ladang perjuangan saat ini pun tidak harus mengangkat senjata pada era mengisi kemerdekaan. Semua orang dari beragam profesi bisa menjadi pahlawan bagi lingkungan, bagi masyarakat, serta bagi bangsa dan negaranya.

Budayawan Djawahir Muhammad mengatakan, sekarang pahlawan tidak harus berperang mengangkat senjata dalam makna sebenarnya.

”Antara kepahlawanan dan kepemimpinan, semestinya ‘nyambung’dan terefleksikan dalam sifat dan sikap mulia yang bisa menjadi teladan. Karena itu, siapa pun bisa menjadi pahlawan. Bahkan dalam tingkat terkecil, pahlawan keluarga. Ayah menjadi pahlawan bagi anak istrinya, guru jadi pahlawan yang mencerdaskan anak bangsa,” tuturnya.

Persoalannya, kata Djawahir, tidak semua orang menyadari potensi yang dimiliki untuk menjadi pahlawan sesuai bidangnya masingmasing, termasuk mereka yang duduk sebagai wakil rakyat.

Sosiolog dari Undip, Yetty Rochwulaningsih, mengatakan Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November diharapkan tidak sebatas formalitas, tapi nilainilainya perlu diresapi.

”Semangat kerelaan berkorban dan perjuangan tanpa menyerah untuk membela bangsa yang saya kira saat ini harus diimplementasikan. Banyak politikus dan pejabat masuk penjara hanya karena ingin meraup uang sebanyakbanyaknya. Paradigma itu harus diubah untuk ikut membangun bangsa ini. Orientasi yang harus dibangun adalah rela berkorban dan semangat berjuang, bukan minta imbalan materi,” ujarnya.

Jadi Ideologi

Kritik disampaikan pekerja sosial, pengamat politik, dan aktivis LSM Paulus Mujiran. Pada momen memperingati Hari Pahlawan atau kemerdekaan semua orang nyaris melakukan kegiatan yang seragam. Celakanya, kegiatan itu terus berulang dari tahun ke tahun.

”Peringatan Hari Pahlawan kian hambar maknanya dan tidak memiliki daya gugah yang membangkitkan nasionalisme kebangsaan. Keriuhrendahan hanya di permukaan, sementara nilai nasionalisme kejuangan para pahlawan hilang tak membekas. Tentu ini menjadi persoalan yang amat serius karena di tengah konstelasi politik kebangsaan yang diwarnai dengan aneka peristiwa memilukan, seperti kemarakan kasus korupsi, kekerasan, dan kemerosotan moral bangsa nilai-nilai kebangsaan justru semakin memudar,” paparnya.

Sentimen pembelaan kepada bangsa dan negara pun kian tidak menjadi ideologi penting segenap komponen anak-anak bangsa. Dengan nasionalisme, seharusnya masyarakat memiliki keyakinan dan harga diri terhadap bangsa-bangsa lain di dunia. Nilai kejuangan para pahlawan berupa nasionalisme dan patriotisme menjadi senjata yang ampuh melawan berbagai macam persoalan kebangsaan yang kini dihadapi.

Kemerdekaan yang diproklamasikan para pendiri bangsa ini sebenarnya bukan dalam arti seluas-luasnya untuk kepentingan sendiri, melainkan berani berkorban dan menderita untuk kesejahteraan orang lain. Kemerdekaan yang berwajah ugahari, berani menderita dan menahan diri untuk kepentingan yang lebih luas adalah ciri khas semangat kejuangan para pahlawan.

Perayaan kemerdekaan dan Hari Pahlawan hanya dirasakan dalam konteks individual. Konsepsi kemerdekaan disederhanakan sekadar ekspresionisme sehingga lebih mementingkan peran individual. ”Kita menjadi sangat bebas melakukan apa saja, termasuk melakukan praktik korupsi, suapmenyuap, penimbunan dana rakyat. Selain itu, di dataran elite politik banyak kasus besar yang tidak terungkap dengan lugas. Ini tentu menimbulkan tanda tanya besar seperti apakah makna kemerdekaan ketika merdeka hanya milik sekelompok orang,” tandasnya.

Penanggung Jawab :Triyanto Triwikromo, Agus Fathuddin Yusuf

Sumber : Epaper SM edisi Selasa, 10 November 2015 Hal 6

Inspirasi, Inti Kepahlawanan

Nama Bung Tomo selalu disebut setiap kita memperingati 10 November sebagai Hari Pahlawan. Sejarah itu memuat kebanggaan dan inspirasi. Seperti para tokoh lainnya, baik yang telah dinobatkan sebagai pahlawan nasional maupun yang secara sosiologis diakui walaupun belum melalui sebuah surat keputusan, kisah Bung Tomo dalam peristiwa 10 November 1945 dan heorisme para tokoh lain di arena yang berbeda-beda, mengusung nilai keteladanan.

Kepahlawanan menebar getar makna bagi generasi ke generasi sesudah terjadinya peristiwa yang menjadi sebuah penanda zaman. Ruang yang melahirkan hero juga tak selalu berupa pertempuran sengit seperti di zaman Bung Tomo, Pangeran Diponegoro, atau Tjoet Nyak Dhien. Ia bisa hadir dari dunia pendidikan, keberpihakan pada pelayanan kesehatan, menjaga keutuhan lingkungan, memperjuangkan hak-hak perempuan, kesenian, bahkan bakti prestasi olahraga

Intinya adalah jejak, lalu jejak itu menggerakkan sebuah perubahan yang menimbulkan kekuatan inspirasional. Kepada sosok seperti Abdurrahman Wahid misalnya, bangsa ini patut merasa berutang atas konsistensi perjuangannya dalam menegakkan demokrasi dan pluralisme. Pengusulannya sebagai pahlawan nasional atas dasar pemikiran dan peran-peran kritis mengawal kebhinekaan dalam demokratisasi di Tanah Air, merupakan logika yang patut diterima.

Inspirasi kejuangan dalam ruang pengorbanan mesti kita tebar di semua lini dan bidang. Bukankah harus dibangun kekuatan kemandirian di tengah atmosfer persaingan global, terutama dalam menghadapi MEA? Dibutuhkan ketokohan dalam wujud keberanian mengambil prakarsa, mengeksplorasi ide-ide kreatif yang kompetitif, mendorong terjadinya perubahan, dan secara konsisten memperjuangkannya sebagai inspirasi bagi anak-anak muda bangsa ini.

Gagasan-gagasan besar para pendiri bangsa, kepahlawanan untuk membebaskan dari kolonialisme, serta ide-ide visioner yang merekatkan nilai kebhinekaan, menjadi elan yang mesti ditransformasikan kepada anak-anak muda yang sekarang berjuang di berbagai bidang. Dari para peneliti, penemu, pengembang gagasan, seniman, olahragawan, hingga kreativitas dalam memunculkan lapangan pekerjaan. Banyak pahlawan dalam versi kebutuhan kehidupan kekinian.

Pengenalan kepahlawanan dari sisi inspirasi ketokohan kepada generasi muda sangatlah penting. Pemberian status sebagai pahlawan nasional tak boleh berhenti pada formalisme pengakuan; yang lebih penting memperkenalkan kepada angkatan muda tentang jejak sejarah ketokohan dalam gagasan, perjuangan untuk sebuah perubahan, atau perlawanan-perlawanan. Inspirasi memuat keteladanan. Sekarang misalnya, kita membutuhkan para pahlawan dan pejuang antikorupsi.


Sumber : Epaper SM edisi Selasa, 10 November 2015 Hal 4

Mempertanyakan Kinerja DPR

Oleh Sumaryoto Padmodiningrat

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) seperti main kucing-kucingan dengan rakyat. Contohnya soal pembangunan Gedung DPR yang dalam APBN 2016 dianggarkan Rp 740 miliar. Tak pelak, anggaran yang seolah-olah diselundupkan ini memicu protes masyarakat.

Sejatinya, sudah sejak periode 2009-2014, bahkan sebelumnya, DPR mengajukan anggaran pembangunan gedung baru karena gedung yang ada saat ini sudah tidak memadai lagi. Namun karena rakyat terus protes maka DPR pun mengalah, sampai kemudian anggaran tersebut ’diselundupkan’ dalam RAPBN 2016.

Anggaran pembangunan gedung baru DPR inilah yang dicurigai jadi ajang transaksional antara pemerintah dan DPR sehingga Koalisi Merah Putih (KMP) minus Partai Gerindra menyetujui APBN 2016.

”Take and give” ini mengingatkan kita pada pembahasan RAPBN Perubahan 2015, di mana setelah pemerintahan Presiden Joko Widodo menganggarkan dana talangan Lapindo Rp 781 miliar, KMP akhirnya menyetujui APBN-P 2015. Itulah politik, harus ada ’take and give’ dan memahami adagium ”tak ada makan siang gratis.”

Rakyat bukannya tak menyadari bahwa gedung DPR yang ada saat ini sudah tidak memadai lagi. Bagaimana bisa ruang kerja anggota DPR yang seluas 18 m2 harus diisi minimal delapan orang, yakni satu anggota DPR, 2 asisten pribadi, dan lima tenaga ahli, belum lagi bila ada tamu.

Apalagi undang-undang mengamanatkan bahwa luas standar ruangan anggota DPR adalah 117 m2, dan tiap penambahan satu staf maka luas ruangan itu harus bertambah dua meter persegi.

Gedung Nusantara I tempat ruang kerja anggota DPR juga dalam kondisi miring dan retak-retak akibat gempa Pangandaran beberapa waktu lalu. Kapasitas gedung ini awalnya hanya dibangun untuk 800 orang, namun kini tiap hari hampir 4.000 orang beraktivitas.

Namun, bila melihat kinerja anggota DPR, ketidaksetujuan rakyat terhadap rencana pembangunan gedung baru itu, masuk akal. Dalam bidang legislasi misalnya, dua bulan menjelang berakhirnya tahun 2015, dari 39 RUU prioritas Prolegnas 2015, baru dua UU yang disahkan.

Dua UU itu pun hanya bersifat revisi terbatas, yaitu UU No 8/ 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta UU No 9/2015 tentang Pemerintah Daerah. UU No 8/2015 merupakan revisi UU No 1/2015 tentang Perppu No 1/2014 yang disahkan pada 20 Januari 2015.

Dibanding periode sebelumnya, kinerja DPR periode 2014-2019 terindikasi lebih buruk. Sepanjang Januari-Oktober 2010, DPR periode 2009-2014 berhasil mengesahkan enam UU prioritas. Sementara dalam waktu sama, DPR periode ini baru mengesahkan dua UU prioritas.

Padahal, produktivitas DPR periode 2009-2014 sudah tergolong rendah, yakni hanya mengesahkan 126 UU dari 247 RUU dalam Prolegnas 2009, atau hanya sekitar 50%. Secara kualitas pun tergolong rendah.

Dari jumlah tersebut, 11 UU diujimaterikan ke MK. Adapun DPR periode 2004-2009 menghasilkan 185 UU dari 279 RUU dalam Prolegnas 2004, dan 18 UU di antaranya digugat ke MK, sementara DPR periode 1999-2004 menghasilkan 169 UU dari 247 RUU dalam Prolegnas 1999.

Lembaga Bersih

Ironisnya, DPR masih gemar mencari alasan. Ketika menyampaikan pidato penutupan Masa Sidang I 2015-2016, Jumat (30/10/15), Ketua DPR Setya Novanto berdalih, kinerja legislasi tak hanya diukur berdasarkan berapa banyak UU yang dihasilkan di tiap masa sidang. Hal terpenting adalah UU yang dihasilkan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Selain kinerja meningkat, rakyat juga berharap DPR menjadi lembaga bersih. Sejak KPK berdiri pada 2003, hingga Senin (2/11/15), sudah 54 anggota DPR jadi tersangka, terdakwa dan terpidana korupsi. Ke-54 anggota dan mantan anggota DPR itu berasal dari berbagai partai, termasuk parpol yang baru berdiri.

Tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapatrapat yang tergolong rendah, yakni di bawah 70% dalam rapat paripurna, dan di bawah 60% dalam rapat alat kelengkapan dewan. Andai kinerja meningkat, DPR pun akan menjadi lembaga yang bersih dan citranya tak buruk lagi. Maka tak ada alasan bagi rakyat untuk tidak menyetujui apa pun yang direncanakan parlemen.

KPH Sumaryoto Padmodiningrat, anggota DPR RI periode 1999-2004, 2004-2009, dan 2009- 2014

Sumber : Epaper SM edisi Selasa, 10 November 2015 Hal 4

Dana Desa dan Lumbung Pangan

Oleh Imron Rosyadi

SALAH satu konsekuensi dari pemberlakuan UU Nomor 6/2014 tentang Desa adalah kebijakaan transfer/alokasi dana desa dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten/kota, sebagaimana diatur dalam Pasal 72 UU tersebut. Yang dimaksud dana desa adalah dana yang bersumber dari APBN bagi desa yang ditransfer melalui APBD kabupaten/kota dan digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa (Pasal 1 Permendes PDTT Nomor 5/2015).

Tahun 2015, pemerintah mematok pagu anggaran dana desa sebesar Rp 20,66 triliun (SM, 23/10), yang akan disalurkan kepada 74.093 desa di seluruh Indonesia. Dari total anggaran tersebut, telah ditransfer dana desa dari rekening kas umum negara (RKUM) ke rekening kas umum daerah (RKUD) sebesar Rp 16,02 triliun atau sekitar 77,1 persen.

Realisasi anggaran tersebut diharapkan efektif dan efisien, untuk mencapai tujuan pembangunan desa, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui: (i) pemenuhan kebutuhan dasar; (ii) pembangunan sarana dan prasarana desa; (iii) pengembangan potensi ekonomi lokal, dan (iv) pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

Masalah Krusial

Aktivitas ekonomi utama masyarakat perdesaan adalah pertanian, peternakan, dan perikanan yang menghasilkan berbagai jenis produk pangan. Tidak bisa dimungkiri bahwa hingga saat ini yang menjadi sentra produksi pangan di Indonesia adalah perdesaan, dengan produsen utama petani kecil di seluruh pelosok Tanah Air.

Karena itu, berbicara mengenai pembangunan perdesaaan, tidak bisa mengabaikan sektor pertanian sebagai penggerak roda perekonomian di perdesaan. Makna pembangunan pertanian secara keseluruhan (off farm hulu, on farm dan off farm hilir) identik dengan pembangunan perdesaan.

Ada beberapa persoalan krusial yang seringkali menghadang pembangunan pertanian/perdesaan di Indonesia. Pertama masih menempatkan petani sebagai objek pembangunan. Modal yang dimiliki petani, peternak, dan nelayan seperti tenaga kerja produktif, pengetahuan, penguasaan teknologi, dan kemampuan memanfaatkan sumber daya alam belum dipandang sebagai faktor penentu keberhasilan pembangunan.

Kedua, kebijakan pemerintah dalam peningkatan produksi bahan pangan/sayuran, seperti kedelai, bawang merah/putih, swasembada beras dan jagung, swasembada daging sapi, percepatan produksi gula dan sebagainya, justru cenderung berdampak pada merosotnya nilai tukar petani (harga komoditas pertanian lokal semakin rendah).

Merujuk pada persoalan tersebut, diperlukan adanya perubahan mindset para pemangku kepentingan, untuk meng-create perdesaan sebagai unit terkecil lumbung pangan nasional. Maknanya, perekonomian perdesaan yang memang digerakkan oleh sektor pertanian, peternakan, dan perikanan sebagai sentra penghasil pangan, secara agregat harus bisa mendorong pertumbuhan nasional, serta yang terpenting, petani, peternak dan nelayan sebagai produsen utama penghasil bahan pangan, bisa mendapatkan manfaat yang signifikan dari pertumbuhan itu.

Untuk mewujudkan desa lumbung pangan, kuncinya adalah faktor petani sebagai sumber daya kapital (human capital). Human capital petani yang seringkali luput dari perhatian kita adalah wirausahawan petani (agripreneur), karena dipandang petani tidak cocok menyandang profesi wirausahawan.

Pengabaian petani sebagai wirausahawan juga berasal dari diri petani sendiri. Petani tidak memandang dirinya sebagai wirausahawan. Padahal secara tradisional petani memiliki karakter wirausahawan, yakni mampu memproduksi, menyerap tenaga kerja, dan pelaku utama ekonomi perdesaan.

Diperparah lagi dengan stigma yang telanjur melekat bahwa petani tidak berpendidikan, tradisional, gurem, un-skill dan tidak berteknologi. Lebih lanjut berimplikasi pada produk-produk pertanian yang jarang sekali disajikan dalam bentuk (kemasan) modern, inovatif, dan bermuatan nilai tambah.

Sebagaimana diamanatkan UU, dana desa bisa dimanfaatkan untuk program-program pemberdayaan petani yang memungkinkan munculnya banyak petani agripreneur, yakni pola pikir dan proses petani untuk menciptakan dan mengembangkan kegiatan ekonomi melalui keberanian mengambil risiko, kreativitas, dan inovatif. Sehingga diharapkan, dari tangan-tangan petani agripreneur itulah akan terwujud desa lumbung pangan.

Imron Rosyadi, dosen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Mahasiswa Program S3 Ekonomi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sumber : Epaper SM edisi Selasa, 10 November 2015 Hal 4

Asus Zenfone 2 Laser : Kamer Lebih Baik dengan Otofokus Laser

Oleh Sulistiyo Suparno

Asus menambah lagi keluarga Zenfone. Setelah meluncurkan seri Zenfone 2 pada April 2015, Asus merilis versi murah dari tipe tersebut, yakni Zenfone 2 Laser. Spesifikasi ponsel ini berbeda untuk beberapa negara. Versi yang beredar di Indonesia, spesifikasinya termasuk rendah dibanding yang beradar di negara lain.

Untuk menekan harga, Asus memangkas beberapa fitur Zenfone 2 Laser. Di sisi lain, Asus menyematkan beberapa fitur yang lebih baik pada ponsel ini.

Fitur yang dipangkas dari seri sebelumnya adalah ukuran layar, piksel layar, kapasitas baterai, dan belum 4G. Zenfone ”hanya” dibekali layar 5 inci, 720 x 1280 piksel. Namun, layar Zenfone 2 Laser sudah dilengkapi pelindung mutakhir dari Corning, yakni Gorilla Glass 2.

Penyematan teknologi Gorilla Glass 4 membuat layar dua kali lebih tahan terhadap kerusakan akibat jatuh, dibanding versi sebelumnya. Bahkan kekuatannya 2,5 kali lebih kuat, serta 85 persen lebih tahan banting dipergunakan sehari-hari.

Permukaan layar Zenfone 2 Laser tidak licin dan tidak terlalu kesat, sehingga terasa nyaman saat digunakan. Layar juga masih tampak jelas meski berada di bawah terik matahari.

Perbaikan atau penyempurnaan yang paling menonjol pada Zenfone 2 Laser adalah sektor kamera. Kamera utama beresolusi 8 megapiksel dan masih menggunakan teknologi PixelMaster, yang mampu menyerap cahaya dengan lebih baik. Hasil foto indoor dan outdoor sama-sama tajam.

Perbaiki Gambar

Kamera utama ponsel ini dilengkapi otofokus laser yang mampu mengurangi gambar buram dan memperbaiki stabilitas gambar. Pemanfaatan sinar laser bermanfaat untuk mengukur jarak dalam kecepatan cahaya dan menerjemahkan fokus hanya dalam waktu 0,2 detik, terutama di kondisi pencahayaan minim. Otofokus laser juga bisa mempercepat proses foto close up dan memotret objek yang lebih jauh.

Masih di sektor kamera, Zenfone 2 Laser memiliki mode Low Light yang menggunakan teknologi penggabungan piksel untuk mengambil foto yang 400 persen lebih terang saat malam hari atau kurang cahaya, tanpa bantuan flash. Kamera depan 5 MP, namun tidak bisa untuk panggilan video (video call).
Ponsel ini menggunakan prosesor Qualcomm Snapdragon 410 MSM8916 1.2 GHz, RAM 2 GB dan GPU Adreno 306. Ruang simpan internalnya 16 GB dan memori eksternal beruspa microSD berkapasitas hingga 128 GB.

Sistem operasi yang digunakan adalah Android 5.1 (Lollipop). Sistem operasi bisa diperbarui, namun harus mengunduh file sebesar 195.09 MB. Pembaruan ini mampu membuat ponsel berjalan lebih halus.
Sayang, Asus memangkas kapasitas baterai pada ponsel ini. Zenfone 2 Laser hanya dibekali baterai 2.000 mAh, yang tergolong kecil untuk menyuplai daya ponsel berprosesor quad core. Solusinya, kita bisa mematikan fitur yang memerlukan koneksi internet, untuk menghemat baterai. Artinya, gunakan internet saat membutuhkannya saja.

Pemangkasan fitur lainnya adalah ponsel hanya mendukung jaringan 3G. Tanpa kehadiran 4G, bisa menjadi batu sandungan bagi Zenfone 2 Laser untuk memikat konsumen. Karena merek lain dengan harga yang setara, sudah banyak yang menawarkan jaringan 4G. Namun, bagi konsumen yang mendambakan fitur kamera yang bagus, ponsel ini bisa menjadi pilihan.


Sumber : Epaper SM edisi Senin, 9 November 2015 Hal 23

Solusi Internet Daerah Terpencil

Oleh Dede Ariyanto

”Tak ada hari tanpa internet”. Ungkapan itu hanya berlaku untuk masyarakat modern yang hidup di perkotaan. Kenyataannya, tak semua bagian di Indonesia dapat merasakan koneksi internet. Masih banyak pulau atau daerah terpencil yang belum bisa terhubung dengan internet.

Kabar gembira datang dari perusahaan raksasa mesin pencari Google. Baru-baru ini, telah tercapai kesepakatan bersama melalui kemitraan tiga operator seluler terbesar yang ada di Indonesia, yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata di kantor pusat induk perusahaan Google, Alphabet, di Mountain View, California, Amerika Serikat, Rabu (28/10).

Kerja sama ini menghasilkan kesepakatan Google Project Loon atau balon udara internet Google untuk Indonesia yang akan dilakukan pada awal 2016 dengan masa percobaan selama dua tahun.

Apa itu Google Project Loon? Ambisi Google untuk bisa menghubungkan semua manusia ke internet melalui balon udara internet Google yang memancarkan sinyal wireless (Wi-Fi). Utamanya, mereka yang tinggal di daerah terpencil atau pelosok yang tak terjangkau koneksi internet.

Proyek ini digagas sudah lama sejak 2012 di Amerika Serikat. Indonesia menjadi negara keempat setelah percobaan sukses di negara Brazil, Selandia Baru, dan Australia. Terpilihnya Indonesia tak lain dari letak geografis yang sulit untuk ditembus oleh sinyal-sinyal Base Transceiver Station (BTS) operator seluler.

Indonesia juga terkenal dengan gunung vulkanik teraktif di dunia belum lagi ribuan pulau dan hutan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Menurut data dari Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia pada 2004, keseluruhan pulau, baik yang belum dan sudah bernama, tercatat sebanyak 17.504 pulau.

Lebih Merata

Keadaan semacam itu tak memungkinkan untuk membangun BTS di semua titik pulau di Indonesia. Akan dibutuhkan dana yang sangat besar untuk melakukannya. Dengan balon udara internet Google, semua itu bisa diwujudkan.

Secara prinsip, kerja antara balon udara internet Google dengan BTS sama-sama memancarkan sinyal yang bisa terhubung ke internet bagi penggunanya. Perbedaannya, balon udara internet Google ada di angkasa sedangkan BTS tertanam di tanah.

Melihat posisinya, di udara jangkauan atau sinyal yang dipancarkan lebih merata dan bisa menjangkau titik-titik pulau bahkan yang terpencil sekalipun.

Layaknya balon udara raksasa lain, balon udara internet Google terbang dengan udara helium. Untuk menyokong daya selama berada di udara sumber tenaga bergantung pada panel surya tenaga matahari yang ada di bawah balon internet Google udara.
Pada awal-awal, uji coba ketahanan balon di udara balon hanya mampu bertahan sepuluh hari, namun sekarang sudah mampu bertahan hingga 187 hari atau sekitar enam bulanan. Selain pergerakan balon mengandalkan angin stratosferik juga bisa dikendalikan dengan menggunakan sistem komputer dari darat.

Susunan atau rangkaian balon-balon udara yang beredar di angkasa khatulistiwa satu sama lain terhubung yang akan membentuk jaringan komunikasi di atas udara.

Setara 4G

Pada awal mula rencana balon udara internet Google ini digulirkan, terdapat hambatan, khususnya dalam dunia dirgantara atau penerbangan. Mereka mengkhawatirkan dapat mengganggu dunia penerbangan terlebih maskapai penerbangan komersial.

Setelah mengetahui bahwa tak ada hambatan dengan pancaran sinyal dari BTS, balon tersebut diterterbangkan di ketinggian 20 km dari atas permukaan air laut. Dua kali lipat lebih tinggi dari jarak ketinggian terbang pesawat komersial secara umum, sehingga aman dan tak mengganggu penerbangan.

Diharapkan dengan adanya balon udara internet Google, 100 juta penduduk Indonesia yang belum bisa terhubung dengan internet, kini bisa merasakannya. Untuk kecepatan, akses internet yang ditawarkan setara 4G. Google mengklaim kecepatan akses saat menggunakannya bisa menembus angka 10 Mbps.

Belum ada kabar resmi apakah nantinya proyek balon udara internet Google akan dikomersialkan. Satu yang pasti, jika pun itu terjadi, Google menjamin biaya data yang dikeluarkan lebih murah dibandingkan akses internet yang menggunakan BTS dan fiber optic.

Untuk awal-awal, Google hanya fokus bisa memberikan layanan koneksi internet ke seluruh masyarakat Indonesia, bahkan dalam jangka panjang, ke seluruh masyarakat dunia. Semoga terbukanya jaringan komunikasi baru ini bisa membuat negara Indonesia lebih maju dan bisa mengejar ketertinggalan dari negara lain.

Pemerintah sebagai pengendali pusat tetap harus memantau dan mengontrol penuh proyek Google Project Loon. Jangan sampai di kemudian hari negara kita dirugikan. Begitu juga dengan konten internet bebas harus ada filter yang sesuai dengan norma Indonesia yang ketimuran.


Sumber : Epaper SM edisi Senin, 9 November 2015 Hal 23