Tuesday, 12 February 2019

Peran Pers sebagai Acuan Informasi


Hari Pers Nasional 2019 yang diperingati di Surabaya kembali menyiratkan harapan posisif terhadap pers nasional terutama media mainstream. Selama ini di tengah maraknya media sosial yang juga banyak menyebarkan berbagai informasi dan opini mengakibatkan seolah oleh pers semakin terdesak. Masyarakat seperti tak bisalagi membedakan mana produk jurnalistik dan yang sekadar tulisan atau opini. Semua dikonsumsi danditelan begitu saja. Padahal sebagian adalah hoax atau berita palsu, dan tulisan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Menurut data Edelman Trust Barometer, tingkat kepercayaan publik terhadap media konvensional yakni media cetak, televisi, dan radio kembali meningkat sementara media sosial menurun. Tahun 2017 kepercayaan terhadap media konvensional 52 persen dan media sosial 48 persen. Tahun 2018 tingkat kepercayaan terhadap media konvensional naik menjadi 63 persen, sedangkan media sosial turun menjadi 40 persen. Inilah yang menimbulkan optimisme seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo padapuncak peringatan HPN.

Optimis bahwa media konvensional akan menjadi acuan utama. Sebelumnya kita benar-benar dibuat cemas ketika arus informasi yang membanjir dari media sosial apapun bentuk dan materinya bisa dikonsumsi masyarakat tanpa filter apapun. Seolah-olah semua dianggap benar hanya karena mereka suka. Inilah yang kemudian memunculkan era baru yang disebut post truth atau pascakebenaran. Padahal di negara lain era digital yang juga berdampak pada saluran dan platform media tidak membuat masyarakat dilanda situasi seperti yang terjadi di negara kita.

Maka muncullah harapan agar media konvensional justru harus mampu menjadi semacam clearing house. Yang meluruskan informasi yang keliru atau palsu. Yang mengklarifilasi dan menjelaskan berita atau tulisan yang tidak jelas fakta dan kebenarannya. Menjadi rujukan atau acuan di tengah semua permasalahan yang serba rancu. Atau bahkan mengandung fitnah dan menyesatkan. Hal ini sangat mungkin dilakukan manakala kepercayaan terhadap media konvensional masih tinggi. Seperti dibuktikan oleh data yang dilansir Edelman Trust Barometer tersebut.

Di sisi lain kita tak bisa menutup mata terhadap fenomena yang menunjukkan besarnya tantangan media konvensional, khususnya media cetak dalam upaya mempertahankan eksistensinya. Jumlah tiras terus merosot, sehingga angka readership hanya tinggal 3,8 juta orang. Bandingkan dengan 143 juta orang yang sudah mengakses internet di Indonesia. Sementara itu media online yang jumlahnya lebih 40 ribu hanya sekitar 2.400 yang sudah terverifikasi. Artinya kondisi media dan pers pada umumnya juga memerlukan pembenahan secara serius termasuk oleh pemerintah.

Profesionalisme pers mensyaratkan adanya standarisasi wartawan, perusahaan media, dan organisasi wartawan. Produk pers yang baik perlu ditopang oleh skill dan kode etik jurnalistik. Tanpa itu, kepercayaan bisa tergerus. Kalau kita sepakat tentang urgensi peran pers, maka penataan kehidupan pers harus dilakukan bersama agar tercipta lembaga pers yang sehat dan berkembang. Selama ini kita hanya memuji peran pers tanpa dibarengi dukungan yang dapat memperkuat pers secara kelembagaan termasuk wartawan, seperti misalnya dengan kebijakan insentif.

Sumber : Tajuk Rencana Suara Merdeka, Edisi Senin, 11 Februari 2019

No comments:

Post a Comment