Hari
Pers Nasional 2019 yang diperingati di Surabaya kembali menyiratkan harapan
posisif terhadap pers nasional terutama media mainstream. Selama ini di tengah maraknya
media sosial yang juga banyak menyebarkan berbagai informasi dan opini
mengakibatkan seolah oleh pers semakin terdesak. Masyarakat seperti tak bisalagi
membedakan mana produk jurnalistik dan yang sekadar tulisan atau opini. Semua
dikonsumsi danditelan begitu saja. Padahal sebagian adalah hoax atau berita
palsu, dan tulisan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Menurut
data Edelman Trust Barometer, tingkat kepercayaan publik terhadap media
konvensional yakni media cetak, televisi, dan radio kembali meningkat sementara
media sosial menurun. Tahun 2017 kepercayaan terhadap media konvensional 52
persen dan media sosial 48 persen. Tahun 2018 tingkat kepercayaan terhadap
media konvensional naik menjadi 63 persen, sedangkan media sosial turun menjadi
40 persen. Inilah yang menimbulkan optimisme seperti yang disampaikan Presiden
Joko Widodo padapuncak peringatan HPN.
Optimis
bahwa media konvensional akan menjadi acuan utama. Sebelumnya kita benar-benar
dibuat cemas ketika arus informasi yang membanjir dari media sosial apapun bentuk
dan materinya bisa dikonsumsi masyarakat tanpa filter apapun. Seolah-olah semua
dianggap benar hanya karena mereka suka. Inilah yang kemudian memunculkan era baru
yang disebut post truth atau pascakebenaran. Padahal di negara lain era digital
yang juga berdampak pada saluran dan platform media tidak membuat masyarakat dilanda
situasi seperti yang terjadi di negara kita.
Maka
muncullah harapan agar media konvensional justru harus mampu menjadi semacam
clearing house. Yang meluruskan informasi yang keliru atau palsu. Yang
mengklarifilasi dan menjelaskan berita atau tulisan yang tidak jelas fakta dan
kebenarannya. Menjadi rujukan atau acuan di tengah semua permasalahan yang
serba rancu. Atau bahkan mengandung fitnah dan menyesatkan. Hal ini sangat
mungkin dilakukan manakala kepercayaan terhadap media konvensional masih
tinggi. Seperti dibuktikan oleh data yang dilansir Edelman Trust Barometer
tersebut.
Di
sisi lain kita tak bisa menutup mata terhadap fenomena yang menunjukkan besarnya
tantangan media konvensional, khususnya media cetak dalam upaya mempertahankan eksistensinya.
Jumlah tiras terus merosot, sehingga angka readership hanya tinggal 3,8 juta
orang. Bandingkan dengan 143 juta orang yang sudah mengakses internet di
Indonesia. Sementara itu media online yang jumlahnya lebih 40 ribu hanya sekitar
2.400 yang sudah terverifikasi. Artinya kondisi media dan pers pada umumnya
juga memerlukan pembenahan secara serius termasuk oleh pemerintah.
Profesionalisme
pers mensyaratkan adanya standarisasi wartawan, perusahaan media, dan
organisasi wartawan. Produk pers yang baik perlu ditopang oleh skill dan kode
etik jurnalistik. Tanpa itu, kepercayaan bisa tergerus. Kalau kita sepakat
tentang urgensi peran pers, maka penataan kehidupan pers harus dilakukan
bersama agar tercipta lembaga pers yang sehat dan berkembang. Selama ini kita
hanya memuji peran pers tanpa dibarengi dukungan yang dapat memperkuat pers
secara kelembagaan termasuk wartawan, seperti misalnya dengan kebijakan
insentif.
Sumber
: Tajuk Rencana Suara Merdeka, Edisi Senin, 11 Februari 2019